Saturday 26 March 2016

Kecerdasan Menghadapi Kesulitan (Adversity Quetiont)

1.   Pengertian Kecerdasan Adversitas
     Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini merupakan terobosan penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Stoltz mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang individu dalam pekerjaan maupun kehidupannya ditentukan oleh kecerdasan adversitas, dimana kecerdasan adversitas dapat memberitahukan: (1) seberapa jauh individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya; (2) siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur; (3) siapa yang akan melampaui harapan- harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal; dan (4) siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.
     Kecerdasan adversitas adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat mengatasi suatu kesulitan, dengan karakteristik mampu mengontrol situasi sulit, menganggap sumber-sumber kesulitan berasal dari luar diri, memiliki tanggung jawab dalam situasi sulit, mampu membatasi pengaruh situasi sulit dalam aspek kehidupannya, dan memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit.

2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Adversitas
Menurut Stoltz, kecerdasan adversitas memiliki empat dimensi yang biasa disingkat dengan CO2RE yaitu:
a. Control (C)
Dimensi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak atau seberapa besar kontrol yang dirasakan oleh individu terhadap suatu peristiwa yang sulit. Individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversitas yang tinggi merasa bahwa mereka memiliki kontrol dan pengaruh yang baik pada situasi yang sulit bahkan dalam situasi yang sangat di luar kendali. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control akan berpikir bahwa pasti ada yang bisa dilakukan, selalu ada cara menghadapi kesulitan dan tidak merasa putus asa saat berada dalam situasi sulit.
b. Origin dan Ownership (O2)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu apa atau siapa yang menjadi penyebab dari suatu kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mampu menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh situasi sulit tersebut.
v Origin
Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan. Dimensi ini berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi menganggap sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari luar. Individu yang memiliki tingkat origin yang lebih tinggi akan berpikir bahwa ia merasa saat ini bukan waktu yang tepat, setiap orang akan mengalami masa-masa yang sulit, atau tidak ada yang dapat menduga datangnya kesulitan.
v Ownership
Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana individu bersedia mengakui akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi mampu bertanggung jawab dan menghadapi situasi sulit tanpa menghiraukan penyebabnya serta tidak akan menyalahkan orang lain.
c. Reach (R)
Dimensi ini merupakan bagian dari kecerdasan adversitas yang mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan mempengaruhi bagian atau sisi lain dari kehidupan individu. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memperhatikan kegagalan dan tantangan yang mereka alami, tidak membiarkannya mempengaruhi keadaan pekerjaan dan kehidupan mereka.
d. Endurance (E)
Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan berapa lama suatu situasi sulit akan berlangsung. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memiliki kemampuan yang luar biasa untuk tetap memiliki harapan dan optimis.

3. Tipe – tipe Individu
Stoltz menjelaskan teori kecerdasan adversitas dengan menggambarkan konsep pendakian “gunung”, yaitu menggerakkan tujuan hidup ke depan, apapun tujuannya. Terkait dengan pendakian, ada tiga tipe individu, yaitu:
1)     Individu yang berhenti (quitters)
Individu yang berhenti (quitters) adalah individu yang menghentikan pendakian, memilih keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Quitters dalam bekerja memperlihatkan sedikit ambisi, motivasi yang rendah dan mutu dibawah standar.
2)     Individu yang berkemah (campers)
Menurut Stoltz, individu yang memiliki kecerdasan adversitas sedang (campers) merupakan individu yang mulai mendaki, namun karena bosan, individu tersebut mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang rata dan nyaman sebagi tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat. Campers dengan penuh perhitungan melakukan pekerjaan yang menuntut kreativitas dan resiko yang tidak terlalu sulit, tetapi biasanya dengan memilih jalan yang relatif aman. Mereka merasa puas dengan mencukupi dirinya, mengorbankan kesempatan untuk melihat atau mengalami suatu kemajuan, tidak mau mengembangkan diri, dan tidak merasa bersalah untuk berhenti berusaha. Dalam dunia kerja, campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha.
3)     Individu yang mendaki (climbers)
Climbers atau si pendaki adalah sebutan bagi individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalanginya. Climbers menjalani hidupnya secara lengkap. Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang ada. Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat mereka bertahan saat menghadapi situasi yang sulit. Climbers sangat gigih, ulet dan tabah. Mereka terus bekerja keras. Saat mereka menemui jalan buntu, mereka akan mencari jalan lain. Saat merasa lelah mereka akan melakukan introspeksi diri dan terus bertahan. Mereka memiliki kematangan dan kebijaksanaan untuk memahami bahwa kadang-kadang manusia perlu mundur sejenak supaya dapat bergerak maju lagi. Climbers bersedia mengambil resiko, menghadapi tantangan, mengatasi rasa takut, mempertahankan visi, memimpin, dan bekerja keras sampai pekerjaannya selesai.
Tipe tipe individu di atas menjelaskan cara tiap - tiap orang merespon situasi sulit untuk menuju kesuksesan. Dimana tipe -tipe individu tersebut dapat berubah dari tipe yang satu ke yang lainnya sesuai dengan kemampuan beradaptasi individu.

4.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversitas
Stoltz menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan adversitas antara lain:
1)     Bakat
Bakat menggambarkan penggabungan antara keterampilan, kompetensi, pengalaman dan pengetahuan yakni apa yang diketahui dan mampu dikerjakan oleh seorang individu.
2)     Kemauan
Kemauan menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat yang menyala – nyala.
3)     Kecerdasan
Menurut Gardner terdapat tujuh bentuk kecerdasan, yaitu linguistik, kinestetik, spasial, logika matematika, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Individu memiliki semua bentuk kecerdasan sampai tahap tertentu dan beberapa di antaranya ada yang lebih dominan.
4)     Kesehatan
Kesehatan emosi dan fisik juga mempengaruhi individu dalam mencapai kesuksesan.
5)     Karakteristik kepribadian
Karakteristik kepribadian seorang individu seperti kejujuran, keadilan, ketulusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan kedermawanan merupakan sejumlah karakter penting dalam mencapai kesuksesan.
6)     Genetika
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mendasari perilaku dalam diri individu.
7)     Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan individu.
8)     Keyakinan
Keyakinan merupakan ciri umum yang dimiliki oleh sebagian orang-orang sukses karena iman merupakan faktor yang sangat penting dalam harapan, tindakan moralitas, kontribusi, dan bagaimana kita memperlakukan sesama kita.
Semua faktor yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang dibutuhkan untuk tetap bertahan dalam situasi yang sulit agar mencapai kesuksesan.Menurut Anthony dkk ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan indvidu untuk dapat berhasil beradaptasi meskipun dihadapkan pada keadaan yang sulit, yaitu:
1)    Kepribadian
Orang yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit adalah orang yang adaptable. Mereka berusaha untuk melihat suatu masalah dari berbagai sisi.
2)    Keluarga
Orang yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit memiliki hubungan yang baik dengan salah satu atau kedua orangtua yang mendukungnya.
3)    Kemampuan untuk belajar dari pengalaman (learning experience)
Orang yang mampu beradaptasi dengan keadaan sulit berpengalaman dalam memecahkan masalah – masalah sosial. Mereka menghadapi perubahan yang terjadi pada diri mereka, mencari solusi, dan belajar bahwa mereka memiliki keahlian untuk mengendalikan semua hal - hal buruk yang menimpa mereka.

5.  Komentar
Kecerdasan seseorang dinilai tak hanya dilihat dari intellectual quotient (IQ), tetapi juga harus ada keseimbangan dengan emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ). IQ yang tinggi bukanlah penentu kesuksesan. Menurut penelitian orang yang ber-IQ tinggi cenderung mengalami kesulitan dalam bergaul, berinteraksi, mengembangkan diri dan bersikap baik. Oleh karena itu, IQ tinggi harus dibarengi dengan EQ yang tinggi. Dengan EQ kita justru akan mendalami kecerdasan intelektual kita dalam berbuat dan berperilaku. Beberapa pakar kecerdasan menemukan tiga tingkatan alam dalam otak manusia, yaitu alam sadar (IQ), alam pra sadar (EQ) dan sebuah unsur terdalam otak yang biasa disebut God Spot yaitu sebuah titik terang yang berada di alam bawah sadar manusia (SQ).

Dalam sebuah organisasi setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Aspek IQ, EQ dan SQ dianggap perlu dimiliki oleh seseorang. Bahkan, ada satu lagi yang juga perlu dimiliki seseorang yakni adversity quotient (AQ) karena di situlah kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah dan kesulitan diuji, terlebih jika orang tersebut adalah pemimpin. Seorang pemimpin yang berlandaskan pada IQ saja, maka visi misi serta orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan pragmatis dengan mengeyampingkan hal-hal yang berbau spiritualitas dan sentuhan hati nurani karena tujuan utamanya sebatas mencari kepuasan materiil dan duniawi. Pemimpin yang menggunakan nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam memimpin. Namun pendekatan EQ ini sasaran akhirnya cenderung masih tetap sama dengan pendekatan IQ yakni sebatas mengejar kepuasan materiil  atau duniawi. Artinya masih mengabaikan hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pemimpin yang mendalami dan menerapkan nilai SQ dipadukan dengan EQ, tujuan utamanya semata-mata mencari ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Visi misinya jauh ke depan, tidak sebatas akhirnya kehidupan dunia saja tetapi sampai pada kehidupan akhirat dimana semua perilaku di dunia akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, pengukuran kinerja tidak hanya bersadarkan hasil tetapi kriteria proses untuk mencapai hasil tersebut juga diperhatikan. Kinerja dapat berupa produk akhir (barang/jasa) atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keretampilan spesifik yang mendukung pencapaian organisasi. Nilai-nilai AQ menjadi pelengkap dari keseluruhan aspek. Dengan AQ yang tinggi, pemimpin akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan. Ada empat dimensi dalam AQ, antara lain: dimensi control, origin and ownership, reach dan endurance. Dimensi control terikait dengan EQ yakni sejauh mana seseorang mampu mengelola kesulitan yang akan datang. Dimensi kedua tentang origin sangat terkait dengan SQ yakni berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang menyalahkan dirinya ketika ia mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang menyalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalannya. Dan yang lebih penting adalah sejauhmana kesediaan untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut (dimensi ownership).
           

No comments:

Post a Comment