1. Pengertian
Kecerdasan Adversitas
Kecerdasan
adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan
hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini
merupakan terobosan penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk
mencapai kesuksesan. Stoltz mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang individu
dalam pekerjaan maupun kehidupannya ditentukan oleh kecerdasan adversitas,
dimana kecerdasan adversitas dapat memberitahukan: (1) seberapa jauh individu
mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya; (2) siapa
yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur; (3) siapa yang
akan melampaui harapan- harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa
yang akan gagal; dan (4) siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.
Kecerdasan adversitas adalah kemampuan
yang dimiliki individu untuk dapat mengatasi suatu kesulitan, dengan
karakteristik mampu mengontrol situasi sulit, menganggap sumber-sumber
kesulitan berasal dari luar diri, memiliki tanggung jawab dalam situasi sulit,
mampu membatasi pengaruh situasi sulit dalam aspek kehidupannya, dan memiliki
daya tahan yang baik dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit.
2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Adversitas
Menurut
Stoltz, kecerdasan adversitas memiliki empat dimensi yang biasa disingkat dengan
CO2RE yaitu:
a.
Control (C)
Dimensi
ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak atau seberapa besar kontrol yang
dirasakan oleh individu terhadap suatu peristiwa yang sulit. Individu yang
memiliki tingkat kecerdasan adversitas yang tinggi merasa bahwa mereka memiliki
kontrol dan pengaruh yang baik pada situasi yang sulit bahkan dalam situasi
yang sangat di luar kendali. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi
control akan berpikir bahwa pasti ada yang bisa dilakukan, selalu ada cara
menghadapi kesulitan dan tidak merasa putus asa saat berada dalam situasi
sulit.
b.
Origin
dan Ownership (O2)
Dimensi
ini mempertanyakan dua hal, yaitu apa atau siapa yang menjadi penyebab dari
suatu kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mampu menghadapi akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh situasi sulit tersebut.
v Origin
Dimensi
ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan. Dimensi ini
berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas
tinggi menganggap sumber-sumber kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari
luar. Individu yang memiliki tingkat origin
yang lebih tinggi akan berpikir bahwa ia merasa saat ini bukan waktu yang
tepat, setiap orang akan mengalami masa-masa yang sulit, atau tidak ada yang
dapat menduga datangnya kesulitan.
v Ownership
Dimensi
ini mempertanyakan sejauh mana individu bersedia mengakui akibat yang
ditimbulkan dari situasi yang sulit. Individu yang memiliki kecerdasan
adversitas tinggi mampu bertanggung jawab dan menghadapi situasi sulit tanpa
menghiraukan penyebabnya serta tidak akan menyalahkan orang lain.
c.
Reach
(R)
Dimensi
ini merupakan bagian dari kecerdasan adversitas yang mengajukan pertanyaan
sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan mempengaruhi bagian atau sisi lain
dari kehidupan individu. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi
memperhatikan kegagalan dan tantangan yang mereka alami, tidak membiarkannya
mempengaruhi keadaan pekerjaan dan kehidupan mereka.
d. Endurance
(E)
Dimensi
keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan berapa
lama suatu situasi sulit akan berlangsung. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas
tinggi memiliki kemampuan yang luar biasa untuk tetap memiliki harapan dan
optimis.
3.
Tipe – tipe Individu
Stoltz
menjelaskan teori kecerdasan adversitas dengan menggambarkan konsep pendakian
“gunung”, yaitu menggerakkan tujuan hidup ke depan, apapun tujuannya. Terkait
dengan pendakian, ada tiga tipe individu, yaitu:
1) Individu
yang berhenti (quitters)
Individu
yang berhenti (quitters) adalah
individu yang menghentikan pendakian, memilih keluar, menghindari kewajiban,
mundur, dan berhenti. Quitters dalam
bekerja memperlihatkan sedikit ambisi, motivasi yang rendah dan mutu dibawah
standar.
2) Individu
yang berkemah (campers)
Menurut
Stoltz, individu yang memiliki kecerdasan adversitas sedang (campers) merupakan individu yang mulai
mendaki, namun karena bosan, individu tersebut mengakhiri pendakiannya dan
mencari tempat yang rata dan nyaman sebagi tempat persembunyian dari situasi
yang tidak bersahabat. Campers dengan
penuh perhitungan melakukan pekerjaan yang menuntut kreativitas dan resiko yang
tidak terlalu sulit, tetapi biasanya dengan memilih jalan yang relatif aman.
Mereka merasa puas dengan mencukupi dirinya, mengorbankan kesempatan untuk
melihat atau mengalami suatu kemajuan, tidak mau mengembangkan diri, dan tidak merasa
bersalah untuk berhenti berusaha. Dalam dunia kerja, campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan
beberapa usaha.
3) Individu
yang mendaki (climbers)
Climbers
atau si pendaki adalah sebutan bagi individu yang memiliki kecerdasan
adversitas tinggi. Climbers adalah
pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah
membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan
lainnya menghalanginya. Climbers
menjalani hidupnya secara lengkap. Climbers
selalu menyambut tantangan-tantangan yang ada. Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar
daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat mereka bertahan saat menghadapi
situasi yang sulit. Climbers sangat
gigih, ulet dan tabah. Mereka terus bekerja keras. Saat mereka menemui jalan
buntu, mereka akan mencari jalan lain. Saat merasa lelah mereka akan melakukan
introspeksi diri dan terus bertahan. Mereka memiliki kematangan dan
kebijaksanaan untuk memahami bahwa kadang-kadang manusia perlu mundur sejenak supaya
dapat bergerak maju lagi. Climbers
bersedia mengambil resiko, menghadapi tantangan, mengatasi rasa takut,
mempertahankan visi, memimpin, dan bekerja keras sampai pekerjaannya selesai.
Tipe
tipe individu di atas menjelaskan cara tiap - tiap orang merespon situasi sulit
untuk menuju kesuksesan. Dimana tipe -tipe individu tersebut dapat berubah dari
tipe yang satu ke yang lainnya sesuai dengan kemampuan beradaptasi individu.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan
Adversitas
Stoltz
menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan
adversitas antara lain:
1) Bakat
Bakat
menggambarkan penggabungan antara keterampilan, kompetensi, pengalaman dan
pengetahuan yakni apa yang diketahui dan mampu dikerjakan oleh seorang
individu.
2) Kemauan
Kemauan
menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat yang
menyala – nyala.
3) Kecerdasan
Menurut
Gardner terdapat tujuh bentuk kecerdasan, yaitu linguistik, kinestetik,
spasial, logika matematika, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Individu memiliki
semua bentuk kecerdasan sampai tahap tertentu dan beberapa di antaranya ada
yang lebih dominan.
4) Kesehatan
Kesehatan
emosi dan fisik juga mempengaruhi individu dalam mencapai kesuksesan.
5) Karakteristik
kepribadian
Karakteristik
kepribadian seorang individu seperti kejujuran, keadilan, ketulusan hati,
kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan kedermawanan merupakan sejumlah
karakter penting dalam mencapai kesuksesan.
6) Genetika
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan salah satu faktor yang
mendasari perilaku dalam diri individu.
7) Pendidikan
Pendidikan
mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak,
keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan individu.
8) Keyakinan
Keyakinan
merupakan ciri umum yang dimiliki oleh sebagian orang-orang sukses karena iman
merupakan faktor yang sangat penting dalam harapan, tindakan moralitas,
kontribusi, dan bagaimana kita memperlakukan sesama kita.
Semua
faktor yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang dibutuhkan untuk tetap
bertahan dalam situasi yang sulit agar mencapai kesuksesan.Menurut Anthony dkk ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan indvidu untuk dapat berhasil
beradaptasi meskipun dihadapkan pada keadaan yang sulit, yaitu:
1)
Kepribadian
Orang
yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit adalah orang yang adaptable. Mereka berusaha untuk melihat
suatu masalah dari berbagai sisi.
2) Keluarga
Orang
yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit memiliki hubungan yang baik
dengan salah satu atau kedua orangtua yang mendukungnya.
3) Kemampuan untuk belajar dari pengalaman (learning experience)
Orang
yang mampu beradaptasi dengan keadaan sulit berpengalaman dalam memecahkan
masalah – masalah sosial. Mereka menghadapi perubahan yang terjadi pada diri
mereka, mencari solusi, dan belajar bahwa mereka memiliki keahlian untuk
mengendalikan semua hal - hal buruk yang menimpa mereka.
5. Komentar
Kecerdasan
seseorang dinilai tak hanya dilihat dari intellectual
quotient (IQ), tetapi juga harus ada
keseimbangan dengan emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ).
IQ yang tinggi bukanlah penentu kesuksesan. Menurut penelitian orang yang
ber-IQ tinggi cenderung mengalami kesulitan dalam bergaul, berinteraksi,
mengembangkan diri dan bersikap baik. Oleh karena itu, IQ tinggi harus
dibarengi dengan EQ yang tinggi. Dengan EQ kita justru akan mendalami kecerdasan
intelektual kita dalam berbuat dan berperilaku. Beberapa pakar kecerdasan
menemukan tiga tingkatan alam dalam otak manusia, yaitu alam sadar (IQ), alam
pra sadar (EQ) dan sebuah unsur terdalam otak yang biasa disebut God Spot yaitu sebuah titik terang yang
berada di alam bawah sadar manusia (SQ).
Dalam
sebuah organisasi setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya
sendiri. Aspek IQ, EQ dan SQ dianggap perlu dimiliki oleh seseorang. Bahkan,
ada satu lagi yang juga perlu dimiliki seseorang yakni adversity quotient (AQ)
karena di situlah kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah dan kesulitan
diuji, terlebih jika orang tersebut adalah pemimpin. Seorang pemimpin yang
berlandaskan pada IQ saja, maka visi misi serta orientasi kerjanya sebatas pada
hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan pragmatis dengan
mengeyampingkan hal-hal yang berbau spiritualitas dan sentuhan hati nurani
karena tujuan utamanya sebatas mencari kepuasan materiil dan duniawi. Pemimpin
yang menggunakan nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam memimpin. Namun
pendekatan EQ ini sasaran akhirnya cenderung masih tetap sama dengan pendekatan
IQ yakni sebatas mengejar kepuasan materiil
atau duniawi. Artinya masih mengabaikan hubungan dengan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Pemimpin yang mendalami dan menerapkan nilai SQ dipadukan dengan EQ,
tujuan utamanya semata-mata mencari ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Visi
misinya jauh ke depan, tidak sebatas akhirnya kehidupan dunia saja tetapi sampai
pada kehidupan akhirat dimana semua perilaku di dunia akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu,
pengukuran kinerja tidak hanya bersadarkan hasil tetapi kriteria proses untuk
mencapai hasil tersebut juga diperhatikan. Kinerja dapat berupa produk akhir
(barang/jasa) atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan
keretampilan spesifik yang mendukung pencapaian organisasi. Nilai-nilai AQ
menjadi pelengkap dari keseluruhan aspek. Dengan AQ yang tinggi, pemimpin akan
mampu menghadapi rintangan atau halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan.
Ada empat dimensi dalam AQ, antara lain: dimensi control, origin and ownership, reach dan endurance. Dimensi control
terikait dengan EQ yakni sejauh mana seseorang mampu mengelola kesulitan yang
akan datang. Dimensi kedua tentang origin
sangat terkait dengan SQ yakni berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang
menyalahkan dirinya ketika ia mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari
dirinya, atau sejauhmana seseorang menyalahkan orang lain atau lingkungan yang
menjadi sumber kesulitan atau kegagalannya. Dan yang lebih penting adalah
sejauhmana kesediaan untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan
tersebut (dimensi ownership).