Sunday 3 January 2016

Analisis Risiko Negara - Politik dan Finansial



PENDAHULUAN

     Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan memegang sejumlah peluang investasi. Manufaktur, minyak dan gas, dan sektor infrastruktur semua mewakili pilihan menarik, sementara investasi portofolio secara tradisional menjadi sumber utama arus masuk modal. Bisnis dapat memanfaatkan lokasi strategis Indonesia di jalur pelayaran global utama, yang membuat impor dan ekspor biaya rendah. Namun, investor tidak dapat mengabaikan lingkungan bisnis yang menantang negara.
     Investasi selalu mencakup faktor risiko. Pada umumnya boleh dikatakan bahwa semakin tinggi risiko, semakin tinggi juga potensi laba. Selama beberapa tahun terakhir Indonesia telah menunjukkan bahwa investasi tertentu sangat menguntungkan (misalnya di pasar saham, bidang properti dan komoditas), namun berinvestasi di Indonesia juga menyiratkan lebih banyak risiko dibandingkan berinvestasi di negara-negara yang maju karena Indonesia mempunyai dinamika dan karakteristik tertentu yang dapat menggagalkan investasi dan mengganggu iklim investasi.
     Demonstrasi, yang merupakan salah satu ciri khas masyarakat demokratis, berlangsung setiap hari di Indonesia meskipun biasanya hanya skala kecil. Hal-hal yang diprotes berkisar dari isu-isu politik (misalnya kinerja pemerintah yang dianggap lemah) dan masalah ekonomi (misalnya upah rendah) ke isu sosial (misalnya hal-hal agama). Demonstrasi-demonstrasi ini dapat diarahkan -secara vertikal- kepada pemerintah atau -secara horizontal- ke kelompok-kelompok lain di masyarakat Indonesia. Titik penting di sini adalah bahwa demonstrasi-demonstrasi ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia tidak puas dengan keadaan negara saat ini. Sejarah modern Indonesia telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus ekstrem (penggulingan Soeharto tahun 1998), tekanan masyarakat mampu menumbangkan kekuasaan politik dan mengimplikasikan dampak buruk terhadap ekonomi nasional. Meskipun tampaknya tidak mungkin bahwa peristiwa ekstrem seperti itu muncul kembali karena konteks politik sekarang berbeda. Namun harus disadari bahwa ada potensi frustrasi yang direpresi di sebagian masyarakat Indonesia yang harus diwaspadai.
     Persiapan yang mantap serta informasi yang menyeluruh dan terpercaya merupakan kunci berinvestasi di negara manapun. Analisis risiko negara dapat digunakan untuk memantau negara-negara dimana perusahaan multinasional saat ini melakukan bisnis, sebagai perangkat skrining untuk menghindari melakukan bisnis di negara-negara dengan risiko yang berlebihan dan untuk meningkatkan analisis yang digunakan dalam melakukan investasi jangka panjang atau keputusan pembiayaan. Dalam tulisan ini, ada 2 jenis risiko yang akan dijelaskan yaitu risiko politik dan risiko finansial (baik secara makro maupun mikro)

RISIKO POLITIK

Perusahaan Multinasional harus menilai risiko negara tidak hanya negara tempat perusahaan tersebut berusaha tetapi juga negara dimana perusahaan akan mengekspor atau mendirikan anak perusahaan. Beberapa karakteristik risiko suatu negara dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja, dan perusahaan tersebut harus mempertimbangkan besarnya pengaruh karakteristik tersebut. Kerap sekali dalam melakukan bisnis pada lingkungan bisnis asing tidak sama dengan menjalankan bisnis di negeri sendiri. Selain itu, ada risiko makro di negara asing yang mungkin bukan bagian dari sistem atau kebijakan politik yang menguntungkan bisnisnya saat ini.

Korupsi (MAKRO)
     Masalah korupsi politik di Indonesia terus menjadi berita utama (headline) setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di kalangan akademik para cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk masa-masa mendatang yang entah sampai kapan, harus diterima bahwa korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia.
     Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi politik secara beramai- ramai. Permasalahan lainnya adalah partai politik dengan indeks korupsi paling tinggi berbanding lurus dengan kuantitas pemilih atau pendukung partai tersebut. Sedangkan partai politik yang memiliki indeks korupsi kecil, justru memiliki elektabilitas yang rendah. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan di ranah politik Indonesia saat ini.
     Meskipun sebagian besar gambarannya negatif, ada beberapa tanda-tanda positif. Pertama-tama perlu disebutkan bahwa ada dorongan besar dari rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi di Indonesia dan media yang bebas memberikan banyak ruang untuk menyampaikan suara mereka pada skala nasional (meskipun beberapa institusi media - yang dimiliki oleh politisi atau pengusaha - memiliki agendanya sendiri untuk melakukan hal ini). Namun dorongan rakyat untuk memberantas korupsi berarti bahwa bersikap anti-korupsi sebenarnya bisa menjadi vote-gainer (pendulang suara) yang penting bagi politisi yang bercita-cita tinggi. Terlibat atau disebutkan dalam kasus korupsi benar-benar merusak karir karena dukungan rakyat akan merosot drastis. Efek samping negatif (bagi perekonomian negara) dari pengawasan publik ini yaitu pejabat pemerintah saat ini sangat berhati-hati dan ragu-ragu untuk mengucurkan alokasi anggaran pemerintahan mereka, takut menjadi korban dalam skandal korupsi. Perilaku berhati-hati ini bisa disebut sebagai keberhasilan pengaruh KPK yang memantau aliran uang, tetapi juga menyebabkan belanja pemerintah lambat.
     Indonesia belum pernah mengesankan di Indeks Persepsi Korupsi Tahunan (diterbitkan oleh Transparency International). Indeks ini menunjukkan tingkat korupsi di negara-negara dunia. Saat ini posisi Indonesia berada di nomor 118 (dari jumlah total 176 negara) tetapi kinerjanya menunjukkan peningkatan yang stabil sejak awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004.

Pemerintahan (MAKRO)
     Terlepas dari isu korupsi politik, ada faktor lain yang secara negatif mempengaruhi efektivitas dan kinerja pemerintahan di Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa pemerintahan kepulauan yang begitu luas yang berisi hampir 240 juta orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda tidak dihiasi dengan konflik. Berikut ini adalah sejumlah isu terkait tata kelola yang mengganggu ekonomi dan iklim investasi Indonesia.
Birokrasi. Birokrasi di Indonesia dikenal panjang dan rumit dan tampaknya telah menjadi 'pusat kekuasaan' dalam dirinya sendiri, sehingga secara efektif menolak upaya menuju reformasi: suap masih marak dan tidak ada kemajuan yang berkelanjutan dalam membangun institusi yang meningkatkan iklim usaha, pengadilan sebagai kredibel seperti. Dengan demikian, negara berisi berbagai ketidakpastian bisnis yang merugikan iklim investasi.
Akuisisi Tanah. Salah satu hambatan utama untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia telah menjadi masalah pembebasan lahan. Alasan yang mendasari untuk situasi ini adalah hambatan hukum untuk menyepakati kompensasi yang adil untuk pemilik tanah dan, sebagai hasilnya, sengketa hukum tak berujung lebih valuasi (di berbagai kesempatan, ekspansi bisnis telah menyebabkan ketegangan dengan masyarakat lokal). Sebuah undang-undang pembebasan lahan baru telah diterima oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010, tetapi hasilnya belum terlihat
Infrastruktur. Kualitas dan kuantitas infrastruktur Indonesia berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada di rekan-rekan regional. Hal ini berlaku untuk kedua infrastruktur keras (jalan, kereta api, jembatan) dan infrastruktur lunak (pendidikan, kesejahteraan sosial dan kesehatan). Sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, telah terjadi kekurangan serius investasi di bidang ini. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menempatkan investasi dalam infrastruktur sebagai prioritas utama dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2010-2014), sebagian besar yang dipertimbangkan untuk dibiayai melalui modal swasta dalam bentuk kemitraan publik-swasta (PPP). Namun, seperti peraturan kerangka kerja dan lingkungan bisnis Indonesia saat ini tidak optimal kondusif, mungkin strategi terlalu ambisius dari pemerintah pada saat ini (hingga reformasi lebih lanjut dimulai). Hukum yang saling bertentangan dan peraturan saat rintangan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Subsidi Energi. Sebuah perhatian utama dari lembaga-lembaga internasional adalah jumlah di Indonesia semakin meningkat dari subsidi energi, yang memerlukan biaya anggaran yang signifikan. Awalnya, subsidi energi ini diperkenalkan untuk mendukung kebutuhan dasar masyarakat miskin. Namun, dengan menjaga harga energi ini artifisial rendah, sinyal harga yang kabur, keputusan konsumsi dan investasi yang terdistorsi, dan kerentanan keuangan publik volatilitas harga minyak internasional meningkat. Hal ini juga diasumsikan bahwa rumah tangga kaya manfaat lebih dari subsidi ini dari rumah tangga miskin dilakukan. Subsidi ini telah menjadi beban besar pada anggaran pemerintah dan oleh karena itu pemerintah bertujuan untuk memangkas mereka. Namun, pemotongan subsidi energi merupakan isu politik yang sensitif di Indonesia dan akan membawa kritik serius dan demonstrasi. Hal ini juga akan memberikan tekanan besar pada pencapaian target inflasi. Mengetahui bahwa dalam pemilu 2014 baru diadakan, pemerintah tidak akan terlalu mendukung mengurangi subsidi karena akan datang pada harga dukungan rakyat.
Sektor Informal. Indonesia ditandai dengan dual pasar tenaga kerja: a pasar formal kecil dan informal yang besar. Para pekerja sektor formal dilindungi melalui pembayaran pesangon dan upah minimal yang relatif tinggi. Surat itu merupakan insentif bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dari sektor informal di mana ada kurangnya asuransi sosial. Informalitas yang luas merugikan pertumbuhan jangka panjang dan merusak koleksi pendapatan pajak (yang diperlukan untuk investasi di negara itu infrastruktur, kesehatan dan pendidikan).

Kebijakan Pemerintah (MIKRO)
     Arus sumber-sumber keuangan internasional dapat terwujud dalam dua bentuk. Yang pertama adalah penanaman modal asing yang dilakukan oleh pihak swasta (private foreign investment) dan investasi portofolio, terutama berupa penanaman modal asing “langsung” (PMI). Penanaman modal seperti ini juga dapat disebut Foreign Direct Investment (FDI). FDI (Foreign Direct Investment) atau investasi langsung luar negeri adalah salah satu ciri penting dari sistem ekonomi yang kian mengglobal. Ia bermula saat sebuah perusahaan dari satu negara menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di negara lain.
     Dalam hal perlindungan investasi asing prinsip utama yang dipegang adalah perlakuan yang sifatnya non diskriminatif (non-discriminatory), yaitu bahwa hak dan kewajiban berdasarkan hukum berlaku sama dengan tidak membedakan asal negara suatu penanam modal. Di Amerika Serikat prinsip ini dikenal sebagai “fair and equitable treatment” atau perlakuan yang sama dan adil. Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan “perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara”, namun “tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasar perjanjian dengan Indonesia. ”Sebagian perjanjian investasi bilateral memuat pasal yang memungkinkan penanam modal untuk langsung menempuh jalur arbitrase internasional jika bersengketa dengan pemerintah Indonesia.
     Indonesia berencana untuk mengakhiri dan menegosiasikan ulang 60 perjanjian investasi bilateral yang ditandatanganinya, diawali dengan perjanjian bilateral dengan Belanda yang masa berlakunya berakhir pada bulan Juni 2015. Pengakhiran atau pembatalan perjanjian investasi bilateral akan berakibat hilangnya hak istimewa yang diperoleh dari perjanjian tersebut, di antaranya adalah hak untuk menempuh jalur arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa investasi tanpa menempuh jalur pengadilan di Indonesia. Rencana ini telah menuai penolakan keras dari berbagai negara, lembaga internasional dan kalangan dunia usaha. Kepercayaan terhadap kepastian hukum dalam perlindungan investor di Indonesia akan terkikis   
     Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia juga dapat dijadikan payung perlindungan hukum para penanam modal. Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak dapat mengabaikan kekhawatiran penanam modal asing terhadap masalah kepastian hukum dan kredibilitas lembaga peradilan. Sebelum pengakhiran perjanjian investasi bilateral, Indonesia menduduki urutan sebagai eksportir batubara dan tembaga terbesar di dunia, namun menurut Fraser Institute’s Mining Policy Potential Index tahun 2013, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara terburuk dalam hal iklim investasi di bidang pertambangan. Dengan demikian, reformasi di bidang peradilan (judicial reform) harus diprioritaskan karena kepercayaan terhadap peradilan Indonesia akan menjadi kunci kredibilitas sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Indonesia.

RISIKO FINANSIAL

     Faktor  keuangan harus dipertimbangkan saat menilai risiko Negara. Salah satu faktor keuangan yang paling jelas adalah perekonomian Negara tersebut saat ini dan perkiraannya dimasa depan. Adapun pertumbuhan ekonomi suatu Negara bergantung pada beberapa faktor keuangan yang sering disebut Indikator Pertumbuhan Ekonomi (suku bunga, kurs dan inflasi).

Bank Indonesia (MAKRO)
     Sebagai negara yang masih berada di kategori "sedang berkembang" tentu ada kaitannya dengan sistem keuangan yang sedang bergejolak. Bukan tanpa alasan karena indonesia pernah mengalami krisis moneter berkepanjangan yang mengakibatkan indonesia harus terpuruk dengan ekonomi yang mengalami kontraksi besar dengan laju inflasi tinggi, nilai tukar rupiah jatuh di tambah dengah rasa tidak percaya terhadap bank karena suku bunga tinggi yang membuat bank memiliki utang yang berat di dalam maupun luar negeri. Berbicara tentang "keuangan" seperti tidak habis untuk dibicarakan karena memang menyangkut kesejahteraan suatu negara. Sebagai mana indonesia dimasa dulu dan sekarang sesudah mengalami krisis, perlu adanya upaya pencegahan dan menjaga kestabilan keuangan agar tidak kembali dalam keterpurukan (inflasi) berkepanjangan. Bank Indonesia disini berlaku sebagai penengah dalam mengatur kestabilan keuangan Indonesia. Bank Indonesia berperan aktif untuk menerapkan suku bunga yang tidak terlalu ketat, menerapkan disiplin pasar, menjaga dan mengatur kelancaran sistem pembayaran, dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macro prudensial, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan, penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis.
     Terkait kebijakan valas, ada empat pokok perubahan yang dilakukan BI.
Pertama, mengubah definisi transaksi derivatif dari sebelumnya hanya meliputi bentuk forward, swap, dan option. Dengan adanya ketentuan ini maka transaksi derivatif mencakup pula cross currency swap (CCS) atau kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran dana beserta bunganya dalam mata uang yang berbeda.
Kedua, kewajiban memitigasi risiko bank yang dapat melakukan transaksi CCS. Transaksi ini diharapkan mampu membantu perusahaan menghadapi risiko kenaikan suku bunga Amerika Serikat karena suku bunga utangnya juga bisa di-hedging.
Ketiga, memperluas cakupan underlying (aset yang dijaminkan) menjadi perdagangan dan investasi, termasuk perkiraan pendapatan dan biaya. Sebelumnya, bank ragu-ragu untuk melakukan transaksi derivatif karena dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valas maupun rupiah untuk kepentingan transaksi derivatif, kecuali dalam rangka ekspor. Sekarang investasi diperbolehkan. Kalau ada investor asing memperoleh dividen dan harus di-hedging bisa menggunakan dokumen sebagai underlying.
Keempat, menghapus larangan derivatif beli tenor oleh asing di bawah satu pekan. Maka, jangka waktu transaksi derivatif ke depan dihitung berdasarkan tanggal dimulainya transaksi sampai dengan jatuh waktu dan paling lama dengan jangka waktu investasi.
     Untuk saat ini, dengan latar belakang inflasi dan melemahnya rupiah, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada 7,50% pada pertemuan kebijakan moneter September-nya. Bank sentral kemungkinan akan menunda penurunan suku bunga sampai awal-2016, ketika data inflasi yang lebih menguntungkan harus menyediakan buffer yang cukup bagi BI untuk meringankan suku bunga agar bisa mendorong pertumbuhan. Sementara itu, rupiah akan terus menghadapi tekanan ke bawah karena pemerintah berjuang untuk meningkatkan kepercayaan investor.

Otoritas Jasa Keuangan (MIKRO)
     Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kepemilikan asing yang semakin dominan di sektor perbankan bisa dibatasi jika pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum yang membolehkan asing menguasai saham sebuah bank hingga 99%. OJK setuju melakukan kajian lebih dalam tentang kebutuhan dana asing di sektor perbankan. Jika dana asing tidak lagi dibutuhkan, sudah waktunya PP direvisi. OJK juga menilai pembatasan asing tidak akan bertentangan dengan prinsip integrasi keuangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu, OJK akan menggodok aturan tentang status bank-bank dengan kepemilikan asing di atas 50% untuk segera diubah menjadi bank asing. Kebijakan yang sama juga bakal diberlakukan terhadap sekuritas, manajer investasi (MI), dan perusahaan asuransi. Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, Komisi XI masih merumuskan revisi UU Perbankan. Dalam revisi tersebut, kepemilikan asing pada bank umun bakal dibatasi maksimum 40%.

No comments:

Post a Comment