PENDAHULUAN
Indonesia adalah ekonomi
terbesar di Asia Tenggara dan memegang sejumlah peluang investasi. Manufaktur,
minyak dan gas, dan sektor infrastruktur semua mewakili pilihan menarik,
sementara investasi portofolio secara tradisional menjadi sumber utama arus
masuk modal. Bisnis dapat memanfaatkan lokasi strategis Indonesia di jalur
pelayaran global utama, yang membuat impor dan ekspor biaya rendah. Namun,
investor tidak dapat mengabaikan lingkungan bisnis yang menantang negara.
Investasi selalu mencakup faktor
risiko. Pada umumnya boleh dikatakan bahwa semakin tinggi risiko, semakin
tinggi juga potensi laba. Selama beberapa tahun terakhir Indonesia telah
menunjukkan bahwa investasi tertentu sangat menguntungkan (misalnya di pasar
saham, bidang properti dan komoditas), namun berinvestasi di Indonesia juga
menyiratkan lebih banyak risiko dibandingkan berinvestasi di negara-negara yang
maju karena Indonesia mempunyai dinamika dan karakteristik tertentu yang dapat
menggagalkan investasi dan mengganggu iklim investasi.
Demonstrasi, yang merupakan
salah satu ciri khas masyarakat demokratis, berlangsung setiap hari di
Indonesia meskipun biasanya hanya skala kecil. Hal-hal yang diprotes berkisar
dari isu-isu politik (misalnya kinerja pemerintah yang dianggap lemah) dan
masalah ekonomi (misalnya upah rendah) ke isu sosial (misalnya hal-hal agama).
Demonstrasi-demonstrasi ini dapat diarahkan -secara vertikal- kepada pemerintah
atau -secara horizontal- ke kelompok-kelompok lain di masyarakat Indonesia.
Titik penting di sini adalah bahwa demonstrasi-demonstrasi ini menunjukkan
bahwa sebagian masyarakat Indonesia tidak puas dengan keadaan negara saat ini.
Sejarah modern Indonesia telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus ekstrem
(penggulingan Soeharto tahun 1998), tekanan masyarakat mampu menumbangkan
kekuasaan politik dan mengimplikasikan dampak buruk terhadap ekonomi nasional.
Meskipun tampaknya tidak mungkin bahwa peristiwa ekstrem seperti itu muncul
kembali karena konteks politik sekarang berbeda. Namun harus disadari bahwa ada
potensi frustrasi yang direpresi di sebagian masyarakat Indonesia yang harus
diwaspadai.
Persiapan yang mantap serta
informasi yang menyeluruh dan terpercaya merupakan kunci berinvestasi di negara
manapun. Analisis risiko negara dapat digunakan untuk memantau negara-negara
dimana perusahaan multinasional saat ini melakukan bisnis, sebagai perangkat
skrining untuk menghindari melakukan bisnis di negara-negara dengan risiko yang
berlebihan dan untuk meningkatkan analisis yang digunakan dalam melakukan
investasi jangka panjang atau keputusan pembiayaan. Dalam tulisan ini, ada 2
jenis risiko yang akan dijelaskan yaitu risiko politik dan risiko finansial
(baik secara makro maupun mikro)
RISIKO POLITIK
Perusahaan Multinasional harus menilai risiko negara tidak hanya negara
tempat perusahaan tersebut berusaha tetapi juga negara dimana perusahaan akan
mengekspor atau mendirikan anak perusahaan. Beberapa karakteristik risiko suatu
negara dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja, dan perusahaan tersebut
harus mempertimbangkan besarnya pengaruh karakteristik tersebut. Kerap sekali
dalam melakukan bisnis pada lingkungan bisnis asing tidak sama dengan
menjalankan bisnis di negeri sendiri. Selain itu, ada risiko makro di negara
asing yang mungkin bukan bagian dari sistem atau kebijakan politik yang
menguntungkan bisnisnya saat ini.
Korupsi (MAKRO)
Masalah korupsi politik di
Indonesia terus menjadi berita utama (headline) setiap hari di media Indonesia
dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di kalangan
akademik para cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban atas
pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional
pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat
(1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun
demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk masa-masa mendatang yang entah
sampai kapan, harus diterima bahwa korupsi terjadi dalam domain politik, hukum
dan korporasi di Indonesia.
Secara terpisah, Koordinator
Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan Koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat,
parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menumbuhsuburkan
korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi sarana terpenting mencapai kekuasaan
politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian
membangun jaringan untuk melakukan korupsi politik secara beramai- ramai. Permasalahan
lainnya adalah partai politik dengan indeks korupsi paling tinggi berbanding
lurus dengan kuantitas pemilih atau pendukung partai tersebut. Sedangkan partai
politik yang memiliki indeks korupsi kecil, justru memiliki elektabilitas yang
rendah. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan di ranah politik Indonesia
saat ini.
Meskipun sebagian besar
gambarannya negatif, ada beberapa tanda-tanda positif. Pertama-tama perlu
disebutkan bahwa ada dorongan besar dari rakyat Indonesia untuk memberantas
korupsi di Indonesia dan media yang bebas memberikan banyak ruang untuk
menyampaikan suara mereka pada skala nasional (meskipun beberapa institusi
media - yang dimiliki oleh politisi atau pengusaha - memiliki agendanya sendiri
untuk melakukan hal ini). Namun dorongan rakyat untuk memberantas korupsi
berarti bahwa bersikap anti-korupsi sebenarnya bisa menjadi vote-gainer
(pendulang suara) yang penting bagi politisi yang bercita-cita tinggi. Terlibat
atau disebutkan dalam kasus korupsi benar-benar merusak karir karena dukungan
rakyat akan merosot drastis. Efek samping negatif (bagi perekonomian negara)
dari pengawasan publik ini yaitu pejabat pemerintah saat ini sangat
berhati-hati dan ragu-ragu untuk mengucurkan alokasi anggaran pemerintahan
mereka, takut menjadi korban dalam skandal korupsi. Perilaku berhati-hati ini
bisa disebut sebagai keberhasilan pengaruh KPK yang memantau aliran uang,
tetapi juga menyebabkan belanja pemerintah lambat.
Indonesia belum pernah mengesankan
di Indeks Persepsi Korupsi Tahunan (diterbitkan oleh Transparency
International). Indeks ini menunjukkan tingkat korupsi di negara-negara dunia.
Saat ini posisi Indonesia berada di nomor 118 (dari jumlah total 176 negara)
tetapi kinerjanya menunjukkan peningkatan yang stabil sejak awal pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004.
Pemerintahan
(MAKRO)
Terlepas dari isu korupsi
politik, ada faktor lain yang secara negatif mempengaruhi efektivitas dan
kinerja pemerintahan di Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa pemerintahan
kepulauan yang begitu luas yang berisi hampir 240 juta orang dengan latar
belakang budaya dan agama yang berbeda tidak dihiasi dengan konflik. Berikut
ini adalah sejumlah isu terkait tata kelola yang mengganggu ekonomi dan iklim
investasi Indonesia.
Birokrasi. Birokrasi di Indonesia dikenal panjang dan rumit dan
tampaknya telah menjadi 'pusat kekuasaan' dalam dirinya sendiri, sehingga
secara efektif menolak upaya menuju reformasi: suap masih marak dan tidak ada
kemajuan yang berkelanjutan dalam membangun institusi yang meningkatkan iklim
usaha, pengadilan sebagai kredibel seperti. Dengan demikian, negara berisi
berbagai ketidakpastian bisnis yang merugikan iklim investasi.
Akuisisi Tanah. Salah satu hambatan utama untuk pembangunan infrastruktur
di Indonesia telah menjadi masalah pembebasan lahan. Alasan yang mendasari
untuk situasi ini adalah hambatan hukum untuk menyepakati kompensasi yang adil
untuk pemilik tanah dan, sebagai hasilnya, sengketa hukum tak berujung lebih valuasi
(di berbagai kesempatan, ekspansi bisnis telah menyebabkan ketegangan dengan
masyarakat lokal). Sebuah undang-undang pembebasan lahan baru telah diterima
oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010, tetapi hasilnya belum terlihat
Infrastruktur. Kualitas dan kuantitas infrastruktur Indonesia berada
dalam kondisi yang lebih buruk daripada di rekan-rekan regional. Hal ini
berlaku untuk kedua infrastruktur keras (jalan, kereta api, jembatan) dan
infrastruktur lunak (pendidikan, kesejahteraan sosial dan kesehatan). Sejak
jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, telah terjadi kekurangan serius
investasi di bidang ini. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menempatkan
investasi dalam infrastruktur sebagai prioritas utama dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMN 2010-2014), sebagian besar yang dipertimbangkan untuk
dibiayai melalui modal swasta dalam bentuk kemitraan publik-swasta (PPP).
Namun, seperti peraturan kerangka kerja dan lingkungan bisnis Indonesia saat
ini tidak optimal kondusif, mungkin strategi terlalu ambisius dari pemerintah
pada saat ini (hingga reformasi lebih lanjut dimulai). Hukum yang saling
bertentangan dan peraturan saat rintangan untuk pembangunan infrastruktur di
Indonesia.
Subsidi Energi. Sebuah perhatian utama dari lembaga-lembaga internasional
adalah jumlah di Indonesia semakin meningkat dari subsidi energi, yang
memerlukan biaya anggaran yang signifikan. Awalnya, subsidi energi ini
diperkenalkan untuk mendukung kebutuhan dasar masyarakat miskin. Namun, dengan
menjaga harga energi ini artifisial rendah, sinyal harga yang kabur, keputusan
konsumsi dan investasi yang terdistorsi, dan kerentanan keuangan publik
volatilitas harga minyak internasional meningkat. Hal ini juga diasumsikan
bahwa rumah tangga kaya manfaat lebih dari subsidi ini dari rumah tangga miskin
dilakukan. Subsidi ini telah menjadi beban besar pada anggaran pemerintah dan
oleh karena itu pemerintah bertujuan untuk memangkas mereka. Namun, pemotongan
subsidi energi merupakan isu politik yang sensitif di Indonesia dan akan
membawa kritik serius dan demonstrasi. Hal ini juga akan memberikan tekanan
besar pada pencapaian target inflasi. Mengetahui bahwa dalam pemilu 2014 baru
diadakan, pemerintah tidak akan terlalu mendukung mengurangi subsidi karena
akan datang pada harga dukungan rakyat.
Sektor Informal. Indonesia ditandai dengan dual pasar tenaga kerja: a
pasar formal kecil dan informal yang besar. Para pekerja sektor formal
dilindungi melalui pembayaran pesangon dan upah minimal yang relatif tinggi.
Surat itu merupakan insentif bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dari
sektor informal di mana ada kurangnya asuransi sosial. Informalitas yang luas
merugikan pertumbuhan jangka panjang dan merusak koleksi pendapatan pajak (yang
diperlukan untuk investasi di negara itu infrastruktur, kesehatan dan
pendidikan).
Kebijakan
Pemerintah (MIKRO)
Arus sumber-sumber keuangan
internasional dapat terwujud dalam dua bentuk. Yang pertama adalah penanaman
modal asing yang dilakukan oleh pihak swasta (private foreign investment) dan
investasi portofolio, terutama berupa penanaman modal asing “langsung” (PMI).
Penanaman modal seperti ini juga dapat disebut Foreign Direct Investment (FDI).
FDI (Foreign Direct Investment) atau investasi langsung luar negeri adalah
salah satu ciri penting dari sistem ekonomi yang kian mengglobal. Ia bermula
saat sebuah perusahaan dari satu negara menanamkan modalnya dalam jangka
panjang ke sebuah perusahaan di negara lain.
Dalam hal perlindungan investasi
asing prinsip utama yang dipegang adalah perlakuan yang sifatnya non
diskriminatif (non-discriminatory), yaitu bahwa hak dan kewajiban berdasarkan
hukum berlaku sama dengan tidak membedakan asal negara suatu penanam modal. Di
Amerika Serikat prinsip ini dikenal sebagai “fair and equitable treatment” atau
perlakuan yang sama dan adil. Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan
“perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara”, namun “tidak berlaku
bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasar
perjanjian dengan Indonesia. ”Sebagian perjanjian investasi bilateral memuat
pasal yang memungkinkan penanam modal untuk langsung menempuh jalur arbitrase
internasional jika bersengketa dengan pemerintah Indonesia.
Indonesia berencana untuk
mengakhiri dan menegosiasikan ulang 60 perjanjian investasi bilateral yang
ditandatanganinya, diawali dengan perjanjian bilateral dengan Belanda yang masa
berlakunya berakhir pada bulan Juni 2015. Pengakhiran atau pembatalan perjanjian
investasi bilateral akan berakibat hilangnya hak istimewa yang diperoleh dari
perjanjian tersebut, di antaranya adalah hak untuk menempuh jalur arbitrase
internasional untuk menyelesaikan sengketa investasi tanpa menempuh jalur
pengadilan di Indonesia. Rencana ini telah menuai penolakan keras dari berbagai
negara, lembaga internasional dan kalangan dunia usaha. Kepercayaan terhadap
kepastian hukum dalam perlindungan investor di Indonesia akan terkikis
Undang-Undang Penanaman Modal di
Indonesia juga dapat dijadikan payung perlindungan hukum para penanam modal.
Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak dapat mengabaikan kekhawatiran
penanam modal asing terhadap masalah kepastian hukum dan kredibilitas lembaga
peradilan. Sebelum pengakhiran perjanjian investasi bilateral, Indonesia
menduduki urutan sebagai eksportir batubara dan tembaga terbesar di dunia,
namun menurut Fraser Institute’s Mining Policy Potential Index tahun 2013,
Indonesia dianggap sebagai salah satu negara terburuk dalam hal iklim investasi
di bidang pertambangan. Dengan demikian, reformasi di bidang peradilan
(judicial reform) harus diprioritaskan karena kepercayaan terhadap peradilan
Indonesia akan menjadi kunci kredibilitas sistem penyelesaian sengketa menurut
hukum Indonesia.
RISIKO FINANSIAL
Faktor keuangan harus dipertimbangkan saat menilai
risiko Negara. Salah satu faktor keuangan yang paling jelas adalah perekonomian
Negara tersebut saat ini dan perkiraannya dimasa depan. Adapun pertumbuhan
ekonomi suatu Negara bergantung pada beberapa faktor keuangan yang sering
disebut Indikator Pertumbuhan Ekonomi (suku bunga, kurs dan inflasi).
Bank Indonesia
(MAKRO)
Sebagai negara yang masih berada
di kategori "sedang berkembang" tentu ada kaitannya dengan sistem
keuangan yang sedang bergejolak. Bukan tanpa alasan karena indonesia pernah
mengalami krisis moneter berkepanjangan yang mengakibatkan indonesia harus
terpuruk dengan ekonomi yang mengalami kontraksi besar dengan laju inflasi
tinggi, nilai tukar rupiah jatuh di tambah dengah rasa tidak percaya terhadap
bank karena suku bunga tinggi yang membuat bank memiliki utang yang berat di
dalam maupun luar negeri. Berbicara tentang "keuangan" seperti tidak
habis untuk dibicarakan karena memang menyangkut kesejahteraan suatu negara.
Sebagai mana indonesia dimasa dulu dan sekarang sesudah mengalami krisis, perlu
adanya upaya pencegahan dan menjaga kestabilan keuangan agar tidak kembali
dalam keterpurukan (inflasi) berkepanjangan. Bank Indonesia disini berlaku
sebagai penengah dalam mengatur kestabilan keuangan Indonesia. Bank Indonesia
berperan aktif untuk menerapkan suku bunga yang tidak terlalu ketat, menerapkan
disiplin pasar, menjaga dan mengatur kelancaran sistem pembayaran, dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.
Melalui pemantauan secara macro prudensial, Bank Indonesia dapat memonitor
kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan, penyediaan
likuiditas pada kondisi normal maupun krisis.
Terkait kebijakan valas, ada empat pokok
perubahan yang dilakukan BI.
Pertama, mengubah definisi transaksi derivatif dari sebelumnya
hanya meliputi bentuk forward, swap, dan option. Dengan adanya ketentuan ini
maka transaksi derivatif mencakup pula cross currency swap (CCS) atau
kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran dana beserta bunganya
dalam mata uang yang berbeda.
Kedua, kewajiban memitigasi risiko bank yang dapat melakukan
transaksi CCS. Transaksi ini diharapkan mampu membantu perusahaan menghadapi
risiko kenaikan suku bunga Amerika Serikat karena suku bunga utangnya juga bisa
di-hedging.
Ketiga, memperluas cakupan underlying (aset yang dijaminkan)
menjadi perdagangan dan investasi, termasuk perkiraan pendapatan dan biaya.
Sebelumnya, bank ragu-ragu untuk melakukan transaksi derivatif karena dilarang
memberikan kredit atau pembiayaan dalam valas maupun rupiah untuk kepentingan
transaksi derivatif, kecuali dalam rangka ekspor. Sekarang investasi
diperbolehkan. Kalau ada investor asing memperoleh dividen dan harus di-hedging
bisa menggunakan dokumen sebagai underlying.
Keempat, menghapus larangan derivatif beli tenor oleh asing di
bawah satu pekan. Maka, jangka waktu transaksi derivatif ke depan dihitung
berdasarkan tanggal dimulainya transaksi sampai dengan jatuh waktu dan paling
lama dengan jangka waktu investasi.
Untuk saat ini, dengan latar
belakang inflasi dan melemahnya rupiah, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku
bunga acuan pada 7,50% pada pertemuan kebijakan moneter September-nya. Bank
sentral kemungkinan akan menunda penurunan suku bunga sampai awal-2016, ketika
data inflasi yang lebih menguntungkan harus menyediakan buffer yang cukup bagi
BI untuk meringankan suku bunga agar bisa mendorong pertumbuhan. Sementara itu,
rupiah akan terus menghadapi tekanan ke bawah karena pemerintah berjuang untuk
meningkatkan kepercayaan investor.
Otoritas Jasa
Keuangan (MIKRO)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
menyatakan kepemilikan asing yang semakin dominan di sektor perbankan bisa
dibatasi jika pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 29 Tahun 1999
tentang Pembelian Saham Bank Umum yang membolehkan asing menguasai saham sebuah
bank hingga 99%. OJK setuju melakukan kajian lebih dalam tentang kebutuhan dana
asing di sektor perbankan. Jika dana asing tidak lagi dibutuhkan, sudah
waktunya PP direvisi. OJK juga menilai pembatasan asing tidak akan bertentangan
dengan prinsip integrasi keuangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu,
OJK akan menggodok aturan tentang status bank-bank dengan kepemilikan asing di
atas 50% untuk segera diubah menjadi bank asing. Kebijakan yang sama juga bakal
diberlakukan terhadap sekuritas, manajer investasi (MI), dan perusahaan
asuransi. Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, Komisi XI masih
merumuskan revisi UU Perbankan. Dalam revisi tersebut, kepemilikan asing pada
bank umun bakal dibatasi maksimum 40%.
No comments:
Post a Comment