Tugas 1
1.
Jika pada sebuah organisasi telah
mengimplementasi Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) secara efektif dan telah
berjalan secara otomatis, maka seorang leader
(pemimpin) telah kehilangan urgensi (tidak penting lagi).
Jawab:
1. Menurut saya pernyataan tersebut kurang tepat.
Secara singkat,
fungsi pengendalian bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya deviasi atau
penyimpangan atas pelaksanaan kegiatan dibandingkan dengan perencanaan sebagai
umpan balik untuk melakukan tindakan koreksi atau perbaikan bagi pimpinan dalam
mencapai tujuan organisasi. Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) merupakan
alat untuk memonitor
atau mengamati pelaksanaan manajemen
perusahaan yang mencoba mengarahkan pada tujuan organisasi dalam perusahaan agar
kinerja yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dapat berjalan lebih
efesien dan lancar. Dengan kata lain, tujuan perancangan SPM adalah:
1.
Diperoleh
keandalan dan integritas informasi
2.
Kepatuhan
pada kebijakan, rencana, prosedur, peraturan dan ketentuan yang berlaku
3.
Melindungi
aset organisasi
4.
Pencapaian
kegiatan yang ekonomis dan efisien
Jadi, Sistem Pengendalian
Manajemen (SPM) merupakan instrumen bagi seorang pemimpin dalam mencapai tujuan
perusahaan. Pemimpin disini berperan sebagai pengguna instrumen yang melihat,
mengawasi dan mengevaluasi instrumen yang digunakan (yakni SPM). Proses
pengendalian manajemen adalah proses dimana pemimpin, dalam hal ini manajer
diseluruh tingkatan, memastikan bahwa orang-orang yang mereka awasi
mengimplementasikan strategi yang dimaksudkan. Salah satu elemen suatu struktur
sistem pengendalian manajemen adalah pusat pertanggungjawaban. Pusat
pertanggungjawaban merupakan suatu unit organisasi yang dipimpin oleh seorang
manajer yang bertanggung jawab. Fungsi pusat pertanggung jawaban adalah untuk
mewujudkan satu atau lebih tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang
suatu perusahaan.
Pemimpin yang
efektif dapat membawa organisasi mencapai tujuannya, mencapai visi dan misi
yang sudah ditetapkan. Organisasi bukan tujuan tetapi alat untuk mencapai
tujuan. Dan SPM merupakan instrumen lain yang digunakan untuk memastikan bahwa
tujuan bisa tercapai dengan cara yang lebih efisien dan efektif. Peran
kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan bersama, tanpa adanya kepemimpinan sangat berat kiranya tujuan yang
telah ditetapkan dapat dicapai.
Sistem
Pengendalian manajemen adalah salah satu instrumen dalam organisasi untuk
mengimplementasikan strategi yang berfungsi untuk memotivasi anggota-anggota
organisasi guna mencapai tujuan organisasi.
Untuk mencapai tujuan organisasi tersebut, hubungan antara pimpinan dan karyawan
harus baik. Caranya adalah:
1. Komunikasi agar karyawan bertindak
secara efektif, maka mereka harus tahu apa yang harus dikerjakan,
2. Motivasi karyawan
diberi motivasi untuk menyelesaikan tugasnya,
3. Evaluasi efisien dan efektifnya bawahan
dalam melakukan tugasnya harus dievaluasi oleh manajer.
Dalam
menjalankan rancangan yang telah disusun melalui sistem pengendalian manajemen,
harus ada pengendalian yang baik oleh organisasi tersebut. Pengendalian ini
akan menentukan maju atau mundurnya organisasi. Sistem pengendalian manajemen yang
baik harus memiliki hubungan komunikasi yang baik antara pimpinan dan karyawan untuk
meminimalkan segala kemungkinan kesalahan yang akan terjadi. Karena pada
dasarnya SPM sendiri memiliki keterbatasan. Kekurangan tersebut dapat timbul
dari kurangnya tanggung jawab oleh manusia dalam hal ini baik pimpinan maupun
bawahannya. Sehingga sistem pengendalian manajemen harus betul-betul dikelola
oleh manusia dengan baik dan penuh tanggung jawab sehingga organisasi dapat
berjalan dengan lancar dan tujuan dari organisasi dapat tercapai.
Tugas 2
2. Sebagai
calon pemimpin, apakah kesan anda jika setiap tahun terjadi hal-hal sebagai
berikut? (Apa solusi yang saudara tawarkan)
· Ikan, pasir, dan
kayu yang dicuri Rp.
90 Tr.
· Pajak yang
dibayarkan tetapi tidak masuk ke kas Negara Rp.
240 Tr.
· Kebocoran APBN sebesar 20% dari Rp. 370 Tr Rp. 74 Tr.
Jumlah Rp. 444 Tr.
Jawab
2.
Masalah
korupsi di Indonesia memang telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Korupsi
telah merajalela, susah untuk dihentikan. Untungnya sudah ada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). KPK telah banyak mengungkap berbagai kasus korupsi dari yang
kecil sampai yang melibatkan elite kekuasaan. Para pelakunya pun tidak main-main,
bisa dibilang merekalah pejabat tertinggi di negara kita, dimana bisa dikatakan
bahwa kemaslahatan dan kemakmuran negara kita tergantung pada mereka. Semua
pejabat pemerintahan seolah berlomba dan tidak mau kalah dalam kasus
menggerogoti uang rakyat alias korupsi. Mulai dari pejabat papan atas indonesia
semisal DPR dan Menteri sampai pada pejabat rendah tingkatan RT/RW. Para
penegak hukum yang justru menindak pelaku kejahatan termasuk korupsi juga tidak
mau kalah. Instansi seperti Polisi, TNI, Jaksa juga tersangkut masalah korupsi,
bahkan kepolisian dinyatakan sebagai instansi paling korup di Indonesia (hasil
survei Transparency International Indonesia (TII), 2013). Lucunya lagi, hakim
yang dianggap wakil tuhan di muka bumi ini malah kedapatan menerima suap dalam
beberapa kasus besar di indonesia. Sudah barang tentu terdapat banyak sekali
pelanggaran HAM dalam kasus kasus korupsi besar di Indonesia.
Beberapa masalah korupsi uang negara yang
diungkapkan Kwik Kian Gie di atas semakin mempertegas betapa meruginya negara
setiap tahunnya karena kasus korupsi ini. Berikut solusi yang bisa saya
tawarkan untuk pelbagai permasalahan tersebut:
·
Ikan, Pasir dan Kayu dicuri dengan Kerugian Negara
Mencapai Rp. 90 Triliun
Permasalahan
sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan di Indonesia merugikan
negara dan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan.
Ikan, pasir dan kayu yang dicuri memperlihatkan bahwa masih lemahnya pengawasan
atas pelaksanaan peraturan yang berlaku saat ini. Penyimpangan dalam
pengelolaan sumber daya alam pada umumnya mencakup penyalahgunaan pemberian dan
pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, penyalahgunaan wewenang.
IKAN
Kasus penyimpangan yang terjadi serta solusi dalam
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, antara lain sebagai berikut:
1) Terjadi penangkapan ikan di lokasi yang tidak sesuai
dengan peruntukannya, yaitu adanya pengoperasian kapal-kapal berkapasitas besar
di lokasi yang diperuntukan bagi kapal-kapal yang berkapasitas lebih kecil. Hal
tersebut terjadi karena adanya kolusi antara pemilik kapal dengan aparat
berwenang sehingga mengakibatkan kerugian bagi nelayan-nelayan kecil dan
kelestarian laut.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian apakah ketentuan yang ada telah mengatur mengenai lokasi
pengoperasian kapal penangkapan ikan dan uji bagaimana pelaksanaannya ;
(2) Melakukan
verifikasi apakah pemberian ijin penangkapan ikan telah dilengkapi dengan data
spesifikasi dan jenis kapal yang dipergunakan dan didukung dengan Berita Acara
Pemeriksaan Fisik;
(3) Melakukan
penelitian apakah pengawasan oleh aparat berwenang terhadap kapal-kapal yang
beroperasi di lokasi penangkapan ikan telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku ;
(4) Melakukan
penelitian apakah pelanggaran lokasi pengoperasian kapal yang tidak sesuai
dengan kapasitas kapal telah dikenakan sanksi yang tegas.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian
apakah ketentuan yang ada telah mengatur mengenai metode penangkapan ikan dan
uji bagaimana pelaksanaannya;
(2) Melakukan
verifikasi apakah pemberian ijin penangkapan ikan telah dilengkapi dengan data
spesifikasi dan jenis kapal yang dipergunakan dan didukung dengan Berita Acara
Pemeriksaan Fisik;
(3) Melakukan
penelitian apakah pengawasan oleh aparat berwenang terhadap kapal-kapal yang
beroperasi di lokasi penangkapan ikan telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku ;
(4) Melakukan
Penelitian apakah pelanggaran metode penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan
ketentuan telah dikenakan sanksi yang tegas.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian apakah pelaksanaan penanganan terhadap kapal asing yang mencuri ikan
telah sesuai dengan ketentuan ;
(2) Melakukan
pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas pengawasan perairan nasional untuk
mengetahui bahwa semua kegiatan telah dilaporkan ;
(3) Melakukan
analisa laporan pelaksanaan tugas pengawasan perairan nasional untuk memperoleh
keyakinan bahwa laporan benar ;
(4) Melakukan
penelitian apakah kasus-kasus yang dijumpai sudah diproses lebih lanjut sesuai
ketentuan.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Pemeriksaan
terhadap peraturan atau ketentuan baik yang dikeluarkan di daerah atau di pusat
apakah telah mengatur pelarangan pemakaian jaring arat ;
(2) Melakukan
pengujian terhadap instansi berwenang apakah telah menampung dan memperhatikan
laporan masyarakat nelayan kecil tentang kasus pemakaian jaring arat atau kasus
sumber hayati laut ;
(3) Melakukan uji
petik langsung kepada nelayan kecil, LSM yang peduli terhadap lingkungan hidup
apakah menemukan kasus-kasus pemakaian jaring arat atau kerusakan sumber
hayati;
(4) Melakukan
penelitian apakah pelanggaran pemakaian jaring arat telah diberikan sanksi yang
tegas.
PASIR
Kasus penyimpangan yang terjadi serta solusi dalam
Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan, antara lain sebagai berikut:
1) Pengerukan
dan ekspor pasir laut dilakukan secara ilegal karena hanya berbekal Ijin Usaha
Pertambangan Pasir Laut tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Amdal), namun ekspor tetap dilakukan karena adanya kolusi antara oknum aparat
terkait dengan pengusaha yang bersangkutan sehingga merusak sumber hayati laut
termasuk kesulitan nelayan menangkap ikan.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian terhadap ijin yang dikeluarkan untuk mengetahui kelengkapan dan
keabsahan perijinan penambangan dan ekspor pasir laut pada instansi berwenang;
(2) Melakukan
penelitian terhadap laporan-laporan dari pengusaha untuk mengetahui kebenaran
pelaksanaan penambangan dan ekspor ;
(3) Melakukan
pengujian secara sample terhadap usaha-usaha penambangan dan ekspor pasir laut
untuk mengetahui apakah usaha-usaha tersebut telah mendapat ijin dari instansi
berwenang;
(4) Melakukan
pengujian secara detail (menyeluruh) terhadap usaha penambangan untuk
mengetahui kesesuaian zona yang dikeruk dengan yang diijinkan.
2) Adanya
kolusi antara aparat terkait (pemberi ijin dan pengawas) dengan pengusaha
dengan cara melaporkan kandungan mineral dan sumber hasil tambang lainnya yang
terkandung pada pasir laut yang tidak sesuai dengan kandungan yang sebenarnya,
sehingga cadangan mineral dan sumber tambang lainnya yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi di wilayah yang bersangkutan hilang.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian apakah ijin eksploitasi yang dikeluarkan memang benar-benar
peruntukkannya dan tidak ada kandungan mineral atau sumber hasil tambang
lainnya;
(2) Melakukan
pengujian kandungan mineral atas sample pasir laut yang dikapalkan pada
laboratorium independen;
(3) Melakukan
verifikasi atas perhitungan royalti yang dilakukan dan tarif yang dikenakan;
(4) Melakukan
verifikasi apakah tarif yang dikenakan sesuai dengan tarif pasir laut sesuai
kandungan mineral berdasarkan hasil pengujian laboratorium independen.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian kontrak penjualan antara Kontraktor Pengelola dengan Buyer beserta
seluruh amandemennya untuk mengetahui volume pasir yang akan diekspor;
(2) Melakukan
penelitian realisasi volume pengapalan pasir laut beserta tagihannya (invoice)
yang dikirimkan kontraktor kepada buyer di luar negeri;
(3) Melakukan
penelitian spesifikasi, jenis, kecepatan dan kapasitas seluruh kapal yang
dipergunakan kontraktor termasuk perjanjian sewa dan dokumen tagihan sewa dalam
hal kapal yang dipergunakan tersebut disewa ;
(4) Melakukan
verifikasi realisasi pembayaran sewa kapal untuk memastikan kebenaran volume
tagihan dan pembayarannya.
(5) Melakukan
verifikasi realisasi volume pengapalan per masing-masing kapal dan
membandingkannya dengan kapasitas kapal ;
(6) Melakukan
verifikasi kebenaran LRPPL dan membandingkannya dengan dokumen-dokumen ekspor
seperti manifes kapal, bill of lading (B/L) dan PEB.
KAYU
Kasus penyimpangan yang terjadi serta solusi dalam
Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan, antara lain sebagai berikut:
1) Adanya kolusi antara petugas dengan pengusaha dalam
rangka pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan cara melaporkan jumlah
potensi tegangan tegak per blok lebih besar dari jumlah sebenarnya sehingga
pemegang HPH memperoleh jatah tebang yang lebih besar dari yang seharusnya
menurut Laporan Hasil Cruising (LHC). Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan
produksi menjadi lebih besar.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti
hasil-hasil evaluasi LHC yang dilakukan instansi yang berwenang untuk
mengetahui potensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan RKT (yang telah disahkan) dengan LHC
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan ;
(3) Membandingkan
laporan produksi perusahaan pemegang HPH dengan LHC;
(4) Pemeriksaan
fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya over cutting,
perambahan ke luar area yang ditetapkan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian terhadap ijin baru dan
perpanjangan ijin HPH apakah telah didukung dengan data yang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku ;
(2) Membandingkan
hasil pemotretan dan pemetaan areal kerja HPH yang dilaksanakan oleh pihak
ketiga dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang
independen;
(3) Melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui
bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuan TPTI dan areal kerja HPH
tidak menyeberang ke areal kerja HPH yang lain.
3) Aparat terkait melakukan kolusi dengan pengusaha dalam
pelaksanaan pekerjaan pemotretan dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan
konservasi lainnya dan beberapa lokasi lahan kritis dengan menggunakan potret
udara citra airbone radar. Hasil pekerjaan tersebut yang seharusnya tidak
diterima oleh pihak pemberi kerja ternyata tetap diterima walaupun sebenarnya
hasil pekerjaan tersebut tidak memenuhi syarat kontrak. Dengan hasil yang tidak
sesuai dengan kontrak ini pemerintah tidak dapat memanfaatkan hasil pemotretan
dan pemetaan secara maksimal untuk melakukan perencanaan, pengawasan dan
penataan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberdpa lokasi
lahan kritis.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian terhadap seluruh tahapan baik administrasi maupun teknis atas
kegiatan pelaksanaan perikatan perjanjian pekerjaan pemotretan dan pemetaan
kawasan hutan lindung, kawasan konservasi dan beberapa lahan kritis ;
(2) Melakukan
penelitian terhadap dokumen administrasi dan teknis atas pelaksanaan perikatan
perjanjian di atas untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku ;
(3) Membandingkan
hasil pemotretan dan pemetaan dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan
oleh pihak berwenang yang independen.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Membanding peta
lokasi pertambangan dengan peta RUTR untuk memastikan bahwa lokasi pertambangan
berada atau di luar kawasan hutan lindung ;
(2) Meneliti lokasi
pertambangan untuk meyakinkan bahwa pertambangan tersebut tidak berada di
lokasi hutan lindung berdasarkan peraturan pemerintah yang menetapkan lokasi
kawasan tersebut sebagai hutan lindung.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1)
Melakukan
penelitian terhadap pencatatan dan pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh
perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui apakah hasil penebangannya telah
sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ;
(2) Melakukan
analisa terhadap berbagai laporan yang berkaitan dengan kegiatan penebangan
hutan untuk mengetahui kemungkinan adanya hasil penebangan yang tidak sesuai
ketentuan ;
(3) Melakukan
pengujian secara uji petik ke penampungan hasil penebangan dan bandingkan
dengan pencatatan atau pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan
pemegang HPH untuk mengetahui adanya hasil penebangan yang tidak dilaporkan
atau tidak sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ;
(4) Melakukan
penelitian dengan cara sampling terhadap areal hutan bekas penebangan untuk
mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuannya (TPTI) ;
(5) Melakukan
pengujian sampling melalui wawancara kepada penduduk setempat untuk mendapatkan
informasi mengenai frekwensi pengiriman kayu hasil penebangan ke luar areal
hutan.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
penelitian apakah persyaratan-persyaratan bagi PPBS untuk mendapatkan ijin
pembukaan perkebunan telah cukup memadai untuk lahan/hutan yang telah dibuka
agar dapat terpelihara kembali termasuk batas hak dan kewajiban, wewenang dan
sanksi yang dikenakan bagi PPBS yang melanggar;
(2) Melakukan
penelitian apakah ijin pembukaan perkebunan untuk kawasan non budidaya
kehutanan telah diberikan kepada PPBS hanya untuk lokasi lahan/hutan dibawah
100 hektar;
(3) Melakukan
penelitian apakah segala kegiatan PPBS di lapangan telah dilakukan pengawasan
yang ketat oleh instansi terkait.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah
penerbitan HPHH telah diberikan dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat,
bukan oleh pemegang HPH (pengusaha besar) ;
(2) Melakukan
observasi lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH dilakukan oleh
masyarakat setempat ;
(3) Melakukan
pemeriksaan fisik hasil hutan di lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan
HPHH telah memperhatikan dampak lingkungan untuk menjaga kelestarian hutan ;
(4) Menganalisis
laporan hasil pengawasan pengelolaan HPHH oleh instansi-instansi terkait.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah
instansi terkait telah melakukan evaluasi atas pembuatan LHC dalam menetapkan
potensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan
antara citra landsat dengan LHC dan RKT ;
(3) Melakukan
verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah setempat disusun
berdasarkan LHC ;
(4) Membandingkan
volume kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil
Cruising (LHC) ;
(5) Pemeriksaan
fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya penebangan
kayu di luar areal blok penebangan yang sudah disahkan berdasarkan RKT;
(6) Melakukan
penelitian apakah jatah tebang yang diberikan tidak melebihi potensi hutan
untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di luar areal HPH.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan
verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah setempat disusun
berdasarkan LHC sehingga jatah tebang yang diberikan sesuai dengan potensi
hutan yang ada;
(2) Membandingkan
hasil hutan menurut laporan hasil produksi (LHP) dengan RKT;
(3) Melakukan
pengujian laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh aparat instansi
terkait;
(4) Melakukan
penelitian terhadap administrasi kegiatan penebangan, dan dibandingkan dengan
RKT dan LHP-nya.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah
dalam ijin HPH yang diberikan ditetapkan dengan tegas potensi hutan menurut
jenis-jenis kayu yang ada dalam areal HPH ;
(2) Membandingkan
jenis kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil
Cruising (LHC) ;
(3) Pemeriksaan
fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya pelaporan
jenis kayu yang ditebang berbeda dengan kondisi yang sebenarnya.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah
IPK telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya ;
(2) Melakukan
pengujian apakah pengawasan terhadap pelaksanaan IPK telah berjalan dengan baik
sehingga dapat mengurangi adanya penyalahgunaan peruntukan IPK;
(3) Meneliti
laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait atas
pelaksanaan IPK ;
(4) Membandingkan
realisasi penebangan dengan realisasi penanaman HTI atau perkebunan ;
(5) Pemeriksaan
fisik ke lapangan untuk meyakinkan kebenaran pelaksanaan IPK.
Mengelola
pajak Negara adalah menegakkan hukum, yaitu hukum pajak, karena mengelola pajak
Negara berarti menguji kepatuhan warga Negara (termasuk di dalamnya badan
usaha) dalam melaksanakan ketentuan Hukum Pajak. Jika setiap warga Negara telah
melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan, pertanda Hukum Pajak sudah tegak,
namun jika belum, maka harus dilakukan upaya-upaya penegakan.
Upaya Penegakan tidak harus dimaknai sebagai langkah
menyeret sebanyak-banyaknya wajib pajak ‘nakal’ ke ranah pidana pajak, namun
yang lebih elok adalah menciptakan “Situasi Perpajakan Nasional” yang membuat
warga Negara taat pajak.
Sebagai bagian dari lingkup Hukum Pidana yang berhubungan
dengan uang negara, Hukum Pajak memiliki hubungan yang sangat dekat dengan
Hukum (Pidana) Korupsi. Keduanya adalah ‘anak’ dari Hukum Pidana dan ‘bertugas’
mengamankan dana Negara. Penegakan Hukum (Pidana) Korupsi berfokus pada
pengamanan dana Negara “yang sudah” masuk ke Kas Negara, sedangkan Penegakan
Hukum Pajak berfokus pada pengamanan dana Negara “yang belum” masuk ke kas
Negara. Jika uang pajak yang tidak masuk ke Kas Negara menyebabkan kerugian
Negara karena penggelapan pajak, maka nilai kerugian Negara akibat penggelapan
pajak (jauh) lebih besar dibandingkan kerugian negara akibat korupsi.
Perbandingannya bisa mencapai 2 sampai dengan 5 kali lipat, namun angka 5 kali
lipat lebih menggambarkan kondisi sesungguhnya, karena didasarkan pada
kapasitas pajak Negara Indonesia atas PDB.
Solusi
Mencermati potensi uang Negara yang hilang akibat
penggelapan pajak jauh lebih besar dari kerugian Negara karena korupsi, patut
dikemukakan perlunya dilakukan upaya penegakan hukum pajak yang lebih masif.
Jika penegakan hukum korupsi dilakukan secara masif dengan mendirikan Lembaga
Penegak Hukum Tambahan (ad hoc), yaitu KPK, menjadi gagasan yang segar jika
berkenaan dengan Penegakan Hukum Pajak pun dilahirkan lembaga yang serupa
dengan KPK, sebut saja “KPK-Pajak” (Komisi Pemberantas Kecurangan Pajak).
Cara lain itu adalah membangun system pencatatan
transaksi ekonomi yang bisa diakses oleh otoritas pajak Indonesia (DJP), atau
DJP diberikan kemudahan dan/atau wewenang mendapatkan dan/atau mengakses
data-data transaksi ekonomi tersebut dari lembaga-lembaga yang ada, baik
Lembaga Pemerintah maupun Non Pemerintah, sehingga otoritas pajak (DJP)
memiliki data akurat untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Hal ini dengan asumsi
reformasi dan modernisasi yang dilakukan di DJP berhasil. Jika pilihannya
adalah ‘mempersenjatai’ DJP dengan kewenangan akses atau mendapatkan data yang
berhubungan dengan potensi pajak, maka lembaga-lembaga seperti BI, PPATK,
Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea dan Cukai, dan beberapa lembaga lain, bisa
menjadi prioritas untuk bisa diakses datanya oleh DJP. Boleh jadi risiko
penyalahgunaan mandat dan wewenang akses data oleh DJP ada, namun bisa
diminimalisir dengan berbagai peraturaan pembatasan dan sanki berat bagi pelaku
penyalahgunaan wewenang.
·
Subsidi kepada Perbankan yang Tidak Pernah Akan Sehat,
Nilainya Minimal Rp. 40 Triliun
Puluhan Ekonom dari Kampus UGM mengganggap
kebijakan pemberian dana talangan perbankan melalui kebijakan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1997-1998 dianggap kebijakan tepat
dalam menanggulangi krisis ekonomi. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan
adanya indikasi korupsi dan timbulnya moral hazard saat pemberian dana talangan
sementara dan pemberian surat keterangan lunas BLBI yang perlu dituntaskan agar
tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) kembali mencuat setelah KPK tengah berupaya menyelidiki
indikasi korupsi pada pemberian dana talangan BLBI dan pemberian Surat
Keterangan Lunas (SKL) BLBI tersebut.
Dikarenakan
pemerintah pada saat krisis tersebut tidak memiliki dana tunai sebesar Rp
600-an tirliun untuk menyehatkan perbankan nasional, kebijakan BLBI diganti
menjadi kebijakan obligasi rekap (OR) dimana pemerintah hanya membayar bunga
sebesar 10 persen. Hal itu berdasarkan saran dari IMF. IMF memberi saran dengan
istilah rekayasa akuntansi, pemerintah
tidak punya tunai Rp 600 Triliun, tapi punya kemampuan bayar bunga 10 persen.
Sampai sekarang pemerintah bayar ke perbankan sebesar Rp 60 triliun setiap
tahun yang diambil dari dana APBN. Pemerintah saat ini menanggung beban obligasi
rekap sehingga harus menggelontorkan dana untuk diberikan ke bank meski kondisi
keuangan bank tersebut sudah sangat baik. Untuk menghentikan pembagian dana
dari bunga obligasi rekap BLBI, menurutnya butuh kebijakan dan ketegasan
pemerintah yang didasarkan pada pertimbangan dari aspek hukum, ekonomi dan
politik.
Solusi
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut dugaan korupsi dalam manipulasi
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI, yang sejatinya adalah piutang
negara, malah dibalik menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekapitalisasi
perbankan yang diterbitkan pada 1998. Pasalnya, penyelewengan itu membuat
keuangan negara rapuh. Negara harus menanggung bunga dan pokok obligasi yang
jatuh tempo pada 2033.
Pemerintah
sekarang seharusnya mengoreksi kebijakan salah pemerintah sebelumnya, dan
menempatkan obligasi rekap sebagai utang swasta dari pengemplang BLBI, bukan
utang pemerintah. Sikap pemerintah saat
ini yang tidak mengoreksi kebijakan yang jelas-jelas salah di masa lalu, yakni
skandal BLBI, lebih buruk ketimbang pemerintah lama pembuat kebijakan salah
tersebut.
Hasil
audit Badan Pemerika Keuangan (BPK) atas keuangan negara tahun anggaran
1998/1999 sampai dengan 2003 mengungkapkan terjadinya penyalahgunaan uang
negara untuk kepentingan pribadi. Untuk itu, pemerintah harus memburu dan
mengharuskan obligor pengemplang BLBI mengembalikan kewajibannya kepada negara.
Kenyataannya, aset obligor tidak ditarik, malah utang mereka dibayar
pemerintah. Kalaupun ditarik, hanya aset-aset kecil dan tak berharga yang
mereka tarik, sedangkan aset-aset berharga triliunan rupiah tidak ditarik.
Solusi
lain yang ditawarkan ialah mengganti OR dengan apa yang dinamakan zero coupon
bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri
Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan
BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka
yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah
dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF.
Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada
pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai
oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya. Semua
bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri.
Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik.
Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Tetapi ini
berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk
secara riil meningkatkan modal ekuitinya.
• Kebocoran APBN sebesar 20% dari Rp. 370
Triliun yaitu senilai Rp. 74 Triliun
Seperti kita saksikan, sejak 1999 hingga
kini, ada pergeseran kekuasaan penentuan anggaran. Meski lembaga legislatif
punya hak budgeting dalam penyusunannya bersama pemerintah (pasal 4 tata tertib
DPR), kini penentuan alokasi anggaran tidak lagi didominasi pemerintah. DPR
pegang palu yang jauh lebih menentukan. Perubahan peta kekuatan politik
anggaran itu menjadikan anggota dan atau pimpinan panitia anggaran (panggar)
DPR bagai raja. Implikasinya, siapa pun yang mendambakan kucuran APBN tanpa
pandang objektif atau mengada-ada tidak hanya harus menghubungi dan atau
berusaha berbaikan dengan orang-orang panggar, tapi juga harus
"menghormati" apa yang diinginkan orang-orang panggar tersebut.
Sikap
itu menggiring sebagian besar anggota dan atau pimpinan panggar aji mumpung. Di
antara mereka, atas nama rakyat atau daerah konstituennya, memperjuangkan
anggaran. Tapi, sejumlah catatan menunjukkan, perjuangan mereka kompensasional.
Tak sedikit di antara mereka yang terang-terangan nitip sekian persen (10-20
persen) kepada pemda atau para pihak yang diperjuangkan.
Solusi
Penyusunan
program untuk masuk lebih jauh ke sentra proses kebijakan penentuan keuangan
negara, mencermati proses politik anggaran yang sarat dengan kolusi itu. Misalnya
kebijakan KPK yang memandang penting untuk mengirim pengamatnya untuk melakukan
observasi dengan menyaksikan langsung bagaimana orang-orang panggar menyusun
dan membahas anggaran. Yang terpenting, para pengamat bisa menyaring mana daya
juang yang murni untuk kepentingan publik dan daerah serta mana yang terindikasi
ada "udang" di balik perjuangannya (kompensasional). Selain itu,
bagaimana kuantitas nilai anggaran yang objektif dan mengada-ada. Bahkan, juga
dapat menilai kelayakan dan program, baik dari sisi urgensinya maupun
kemungkinan tumpang-tindahnya sehingga layak didrop. Berdasar hasil observasi
itu, KPK dapat mencatat sejumlah potensi yang diperkirakan menjadi persoalan
bagi keuangan negara. Yang lebih penting, para pengamat itu dapat memberikan
catatan tertentu sehingga analisis hukumnya, bahkan mungkin tindakannya jauh
lebih efisien, tidak seperti masuk dalam hutan belantara.
Solusi
Penanggulangan Korupsi Secara Represif
Pada dasarnya,
penyelesaian atas kasus penyimpangan dilakukan secara proporsional sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan kewenangan masing-masing
instansi. Setiap tahap penyelesaian kasus harus dilakukan pemantauan
perkembangannya. Pada dasarnya setiap kasus tindak pidana korupsi harus
ditindaklanjuti melalui peradilan sesuai ketentuan yang berlaku. Terhadap kasus
yang hanya bersifat penyimpangan prosedur tata kerja dan perlu dilakukan
pembinaan secara administratif dapat dilakukan penanganannya secara internal
oleh organisasi yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Upaya ini merupakan pelaksanaan tindak lanjut atas kasus
penyimpangan yang ditemukan pada masing-masing unit kerja dari hasil
langkah-langkah detektif yang telah memenuhi hal sebagai berikut:
−
Setiap
kasus penyimpangan yang telah diidentifikasikan merugikan keuangan negara dari
langkah detektif agar didukung dengan bukti yang memadai termasuk
penjelasan/keterangan tertulis dari pihak yang bertanggung jawab atas
penyimpangan tersebut.
−
Setiap
kasus penyimpangan harus dilakukan pembahasan melalui pemaparan kasus untuk
menentukan langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan. Dalam pemaparan
tersebut, jika perlu, menyertakan pihak dari instansi penyidik guna menentukan
ada tidaknya Tindak Pidana Korupsi/Perdata.
A. Penyelesaian
oleh Internal Organisasi
1. Pelaksanaan Tindak Lanjut
1) Pimpinan
instansi/unit kerja menindaklanjuti kasus penyimpangan yang ditemukan melalui :
a. pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP
30/1980 tentang Disiplin Karyawan Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang
berlaku.
b. pengenaan sanksi
TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) untuk instansi pemerintah
sesuai ketentuan yang berlaku yang selanjutnya dituangkan dalam Surat
Kesanggupan dari pejabat/petugas yang bertanggung jawab.
2) Pimpinan
instansi/unit kerja menyerahkan kasus-kasus penyimpangan yang sanksi TPTGR-nya
tidak ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secara perdata;
3) Pimpinan
instansi/unit kerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang diperlukan
untuk menanggulangi akibat penyimpangan yang ditemukan.
2. Pemantauan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau pengenaan
sanksi administratif dan pengenaan sanksi TPTGR (Tuntutan
Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) dan atau ketentuan lainnya yang berlaku ;
2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan tindak
lanjut penyelesaian kasus penyimpangan baik melalui pengenaan PP 30/1980 maupun
TPTGR dan atau ketentuan lainnya yang berlaku kepada Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan
Kasus ke Instansi Penyidik.
1. Pelaksanaan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus
penyimpangan yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK) kepada instansi
penyidik dan kasus perdata kepada kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku
;
2) Instansi
penyidik memproses kasus tindak pidana korupsi/perdata secara hukum dengan
prinsip cepat, tepat dan efisien;
3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi
penyidik yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pimpinan instansi/unit
kerja mengenakan sanksi administrasi berdasarkan PP 30 tahun 1980 dan atau
peraturan lain yang berlaku kepada karyawan yang telah dinyatakan bersalah;
4) Instansi
penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan kasus tindak pidana
korupsi/perdata kepada instansi pelapor secara berkala.
2. Pemantauan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau kasus
tindak pidana korupsi/ perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik;
2) Pimpinan instansi/unit kerja yang melaporkan
kasus tindak pidana korupsi/perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik
disertai dengan perkembangan penanganannya kepada Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Tugas 3
3. Semua orang dapat membangun mindset dengan cara dan pendekatan yang
berbeda. Jika anda seorang leader,
bagaimana membangun mindset bawahan
anda sehingga dapat mendukung organisasi dalam mencapai tujuannya?
Jawab:
3. Ada karyawan yang motivasi kerjanya menurun, karyawan
yang tidak mau berubah ke arah yang lebih baik atau susah diajak melakukan
perubahan, mindset karyawannya sulit
untuk diajak maju atau disiplin dan motivasi karyawannya kurang bagus lalu kita
segera berasumsi bahwa mereka adalah karyawan atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang
buruk. Para pakar perilaku menyebut asumsi itu sebagai “fundamental attribution error” atau asumsi yang segera
“menyalahkan” aspek SDM/aspek manusia-nya ketika menyaksikan berbagai
keburukan.
Lalu, sebagai seorang
leader apa yang dapat saya lakukan
untuk mengubah mindset bawahan saya?
Pada dasarnya mindset
adalah pola pikir yang mempengaruhi pola kerja. Perilaku seseorang dipengaruhi
oleh pola pikirnya. Seseorang melakukan sesuatu karena didorong dan digerakkan
oleh pola pikirnya. Jadi, kalau kita mau merubah perilaku seseorang maka pola
pikirnya dulu yang harus dirubah. Pola pikir berubah, perilaku pasti berubah!
Bagaimana caranya? Misalnya, ajaklah dan libatkan dalam
membahas suatu planning dalam
bidangnya (departemennya) dan diskusikanlah bersama, libatkanlah dalam
menganalisa baik-buruknya, untung ruginya, kuat dan lemahnya dari rencana kerja
yang telah disusun bersama tersebut. Ajaklah juga menganalisa bagaimana
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Ini akan
mempengaruhi secara tidak langsung pola pikirnya yang nantinya akan berpengaruh
pada pola kerjanya. Kenapa? karena karyawan kita tahu rencana yang susun, dia
merasa ikut "memiliki", dihargai idenya, logika berfikirnya dll. Pola
pikir berubah, pola kerja berubah!
Menjadi
pemimpin yang baik bukanlah hal yang mudah. Pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang mampu memimpin pengikutnya mencapai suatu tujuan tertentu.
Ciri-ciri pemimpin yang efektif, antara lain:
1) Memiliki visi yang menarik
2) Menentukan sasaran
yang jelas (specific,
measurable, attainable,
realistic, time-oriented-smart)
3) Dapat mengembangkan karyawan yang terlatih dan
berpengalaman
4) Selalu memberikan umpan balik
5) Melibatkan karyawan dalam memecahkan masalah
6) Mengembangkan
iklim kerja yang mendorong kepercayaan, keterbukaan dan kebersamaan dalam
bekerja.
Kepemimpinan
yang efektif juga dapat dicapai melalui pendelegasian kepada bawahan. Melalui pendelegasian, pemimpin
akan menghemat waktu, membangun kebanggaan dan
harga diri pada bawahannya karena diikutsertakan dalam
penentuan hasil usahanya, dapat
mengembangkan bakat,
inovasi, dan kreativitas, serta
mendorong timbulnya motivasi berprestasi.
No comments:
Post a Comment