Sunday 3 January 2016

Sistem Pengendalian Manajemen - Studi Kasus



Tugas 1
1.          Jika pada sebuah organisasi telah mengimplementasi Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) secara efektif dan telah berjalan secara otomatis, maka seorang leader (pemimpin) telah kehilangan urgensi (tidak penting lagi).

Jawab:
1.  Menurut saya pernyataan tersebut kurang tepat.
     Secara singkat, fungsi pengendalian bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya deviasi atau penyimpangan atas pelaksanaan kegiatan dibandingkan dengan perencanaan sebagai umpan balik untuk melakukan tindakan koreksi atau perbaikan bagi pimpinan dalam mencapai tujuan organisasi. Sistem  Pengendalian  Manajemen (SPM)  merupakan  alat  untuk  memonitor  atau mengamati  pelaksanaan  manajemen  perusahaan  yang  mencoba mengarahkan  pada tujuan organisasi dalam perusahaan agar kinerja yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dapat berjalan lebih efesien dan lancar. Dengan kata lain, tujuan perancangan SPM adalah:
1.     Diperoleh keandalan dan integritas informasi
2.     Kepatuhan pada kebijakan, rencana, prosedur, peraturan dan ketentuan yang berlaku
3.     Melindungi aset organisasi
4.     Pencapaian kegiatan yang ekonomis dan efisien
     Jadi, Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) merupakan instrumen bagi seorang pemimpin dalam mencapai tujuan perusahaan. Pemimpin disini berperan sebagai pengguna instrumen yang melihat, mengawasi dan mengevaluasi instrumen yang digunakan (yakni SPM). Proses pengendalian manajemen adalah proses dimana pemimpin, dalam hal ini manajer diseluruh tingkatan, memastikan bahwa orang-orang yang mereka awasi mengimplementasikan strategi yang dimaksudkan. Salah satu elemen suatu struktur sistem pengendalian manajemen adalah pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban merupakan suatu unit organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer yang bertanggung jawab. Fungsi pusat pertanggung jawaban adalah untuk mewujudkan satu atau lebih tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang suatu perusahaan.
     Pemimpin yang efektif dapat membawa organisasi mencapai tujuannya, mencapai visi dan misi yang sudah ditetapkan. Organisasi bukan tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan. Dan SPM merupakan instrumen lain yang digunakan untuk memastikan bahwa tujuan bisa tercapai dengan cara yang lebih efisien dan efektif. Peran kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama, tanpa adanya kepemimpinan sangat berat kiranya tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.
     Sistem Pengendalian manajemen adalah salah satu instrumen dalam organisasi untuk mengimplementasikan strategi yang berfungsi untuk memotivasi anggota-anggota organisasi guna mencapai tujuan organisasi.  Untuk mencapai tujuan organisasi tersebut, hubungan antara pimpinan dan karyawan harus baik. Caranya adalah:
1. Komunikasi agar karyawan bertindak secara efektif, maka mereka harus tahu apa yang harus dikerjakan,
2. Motivasi karyawan diberi motivasi untuk menyelesaikan tugasnya,
3. Evaluasi efisien dan efektifnya bawahan dalam melakukan tugasnya harus dievaluasi oleh manajer.
     Dalam menjalankan rancangan yang telah disusun melalui sistem pengendalian manajemen, harus ada pengendalian yang baik oleh organisasi tersebut. Pengendalian ini akan menentukan maju atau mundurnya organisasi. Sistem pengendalian manajemen yang baik harus memiliki hubungan komunikasi yang baik antara pimpinan dan karyawan untuk meminimalkan segala kemungkinan kesalahan yang akan terjadi. Karena pada dasarnya SPM sendiri memiliki keterbatasan. Kekurangan tersebut dapat timbul dari kurangnya tanggung jawab oleh manusia dalam hal ini baik pimpinan maupun bawahannya. Sehingga sistem pengendalian manajemen harus betul-betul dikelola oleh manusia dengan baik dan penuh tanggung jawab sehingga organisasi dapat berjalan dengan lancar dan tujuan dari organisasi dapat tercapai.
 
Tugas 2
2. Sebagai calon pemimpin, apakah kesan anda jika setiap tahun terjadi hal-hal sebagai berikut? (Apa solusi yang saudara tawarkan)
·     Ikan, pasir, dan kayu yang dicuri                                                       Rp. 90 Tr. 
·     Pajak yang dibayarkan tetapi tidak masuk ke kas Negara                 Rp. 240 Tr. 
      ·     Subsidi kepada perbankan yang tidak pernah akan sehat minimal   Rp. 40 Tr. 
     ·     Kebocoran APBN sebesar 20% dari Rp. 370 Tr                                Rp. 74 Tr. 
         Jumlah                                                                                                 Rp. 444 Tr.

Jawab
2.     Masalah korupsi di Indonesia memang telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Korupsi telah merajalela, susah untuk dihentikan. Untungnya sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK telah banyak mengungkap berbagai kasus korupsi dari yang kecil sampai yang melibatkan elite kekuasaan. Para pelakunya pun tidak main-main, bisa dibilang merekalah pejabat tertinggi di negara kita, dimana bisa dikatakan bahwa kemaslahatan dan kemakmuran negara kita tergantung pada mereka. Semua pejabat pemerintahan seolah berlomba dan tidak mau kalah dalam kasus menggerogoti uang rakyat alias korupsi. Mulai dari pejabat papan atas indonesia semisal DPR dan Menteri sampai pada pejabat rendah tingkatan RT/RW. Para penegak hukum yang justru menindak pelaku kejahatan termasuk korupsi juga tidak mau kalah. Instansi seperti Polisi, TNI, Jaksa juga tersangkut masalah korupsi, bahkan kepolisian dinyatakan sebagai instansi paling korup di Indonesia (hasil survei Transparency International Indonesia (TII), 2013). Lucunya lagi, hakim yang dianggap wakil tuhan di muka bumi ini malah kedapatan menerima suap dalam beberapa kasus besar di indonesia. Sudah barang tentu terdapat banyak sekali pelanggaran HAM dalam kasus kasus korupsi besar di Indonesia.
     Beberapa masalah korupsi uang negara yang diungkapkan Kwik Kian Gie di atas semakin mempertegas betapa meruginya negara setiap tahunnya karena kasus korupsi ini. Berikut solusi yang bisa saya tawarkan untuk pelbagai permasalahan tersebut:
·    
          Ikan, Pasir dan Kayu dicuri dengan Kerugian Negara Mencapai Rp. 90 Triliun
     Permasalahan sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan di Indonesia merugikan negara dan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan. Ikan, pasir dan kayu yang dicuri memperlihatkan bahwa masih lemahnya pengawasan atas pelaksanaan peraturan yang berlaku saat ini. Penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya mencakup penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, penyalahgunaan wewenang. 
IKAN
Kasus penyimpangan yang terjadi serta solusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, antara lain sebagai berikut:
1)  Terjadi penangkapan ikan di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yaitu adanya pengoperasian kapal-kapal berkapasitas besar di lokasi yang diperuntukan bagi kapal-kapal yang berkapasitas lebih kecil. Hal tersebut terjadi karena adanya kolusi antara pemilik kapal dengan aparat berwenang sehingga mengakibatkan kerugian bagi nelayan-nelayan kecil dan kelestarian laut.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian apakah ketentuan yang ada telah mengatur mengenai lokasi pengoperasian kapal penangkapan ikan dan uji bagaimana pelaksanaannya ;
(2) Melakukan verifikasi apakah pemberian ijin penangkapan ikan telah dilengkapi dengan data spesifikasi dan jenis kapal yang dipergunakan dan didukung dengan Berita Acara Pemeriksaan Fisik;
(3) Melakukan penelitian apakah pengawasan oleh aparat berwenang terhadap kapal-kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(4) Melakukan penelitian apakah pelanggaran lokasi pengoperasian kapal yang tidak sesuai dengan kapasitas kapal telah dikenakan sanksi yang tegas.

2)         Metode penangkapan tidak sesuai dengan metode yang diijinkan instansi berwenang, mengakibatkan volume hasil tangkapan menjadi lebih besar dari yang seharusnya dan turut terambilnya ikan yang tidak memenuhi kriteria sehingga mempengaruhi kelangsungan kelestarian sumber hayati laut.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian apakah ketentuan yang ada telah mengatur mengenai metode penangkapan ikan dan uji bagaimana pelaksanaannya;
(2) Melakukan verifikasi apakah pemberian ijin penangkapan ikan telah dilengkapi dengan data spesifikasi dan jenis kapal yang dipergunakan dan didukung dengan Berita Acara Pemeriksaan Fisik;
(3) Melakukan penelitian apakah pengawasan oleh aparat berwenang terhadap kapal-kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(4) Melakukan Penelitian apakah pelanggaran metode penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ketentuan telah dikenakan sanksi yang tegas.

3)         Adanya kolusi antara oknum pengawas dengan kapal asing yang tertangkap mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia, sehingga mengakibatkan kerugian negara dan kerusakan sumber hayati laut.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian apakah pelaksanaan penanganan terhadap kapal asing yang mencuri ikan telah sesuai dengan ketentuan ;
(2) Melakukan pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas pengawasan perairan nasional untuk mengetahui bahwa semua kegiatan telah dilaporkan ;
(3) Melakukan analisa laporan pelaksanaan tugas pengawasan perairan nasional untuk memperoleh keyakinan bahwa laporan benar ;
(4) Melakukan penelitian apakah kasus-kasus yang dijumpai sudah diproses lebih lanjut sesuai ketentuan.

4) Pemakaian jaring arat (sejenis pukat harimau) yang digunakan nelayan-nelayan besar untuk menangkap ikan di perairan Indonesia yang merugikan nelayan kecil yakni : hasil tangkap berkurang dan merusak jaring nelayan kecil serta merusak sumber daya alam sekurangnya 30 % sumber hayati laut rusak bahkan hilang. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara nelayan pemakai jaring arat dengan aparat pemerintah terkait.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Pemeriksaan terhadap peraturan atau ketentuan baik yang dikeluarkan di daerah atau di pusat apakah telah mengatur pelarangan pemakaian jaring arat ;
(2) Melakukan pengujian terhadap instansi berwenang apakah telah menampung dan memperhatikan laporan masyarakat nelayan kecil tentang kasus pemakaian jaring arat atau kasus sumber hayati laut ;
(3) Melakukan uji petik langsung kepada nelayan kecil, LSM yang peduli terhadap lingkungan hidup apakah menemukan kasus-kasus pemakaian jaring arat atau kerusakan sumber hayati;
(4) Melakukan penelitian apakah pelanggaran pemakaian jaring arat telah diberikan sanksi yang tegas.
PASIR
Kasus penyimpangan yang terjadi serta solusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan, antara lain sebagai berikut:
1)         Pengerukan dan ekspor pasir laut dilakukan secara ilegal karena hanya berbekal Ijin Usaha Pertambangan Pasir Laut tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal), namun ekspor tetap dilakukan karena adanya kolusi antara oknum aparat terkait dengan pengusaha yang bersangkutan sehingga merusak sumber hayati laut termasuk kesulitan nelayan menangkap ikan.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian terhadap ijin yang dikeluarkan untuk mengetahui kelengkapan dan keabsahan perijinan penambangan dan ekspor pasir laut pada instansi berwenang;
(2) Melakukan penelitian terhadap laporan-laporan dari pengusaha untuk mengetahui kebenaran pelaksanaan penambangan dan ekspor ;
(3) Melakukan pengujian secara sample terhadap usaha-usaha penambangan dan ekspor pasir laut untuk mengetahui apakah usaha-usaha tersebut telah mendapat ijin dari instansi berwenang;
(4) Melakukan pengujian secara detail (menyeluruh) terhadap usaha penambangan untuk mengetahui kesesuaian zona yang dikeruk dengan yang diijinkan.
­
2)         Adanya kolusi antara aparat terkait (pemberi ijin dan pengawas) dengan pengusaha dengan cara melaporkan kandungan mineral dan sumber hasil tambang lainnya yang terkandung pada pasir laut yang tidak sesuai dengan kandungan yang sebenarnya, sehingga cadangan mineral dan sumber tambang lainnya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di wilayah yang bersangkutan hilang.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian apakah ijin eksploitasi yang dikeluarkan memang benar-benar peruntukkannya dan tidak ada kandungan mineral atau sumber hasil tambang lainnya;
(2) Melakukan pengujian kandungan mineral atas sample pasir laut yang dikapalkan pada laboratorium independen;
(3) Melakukan verifikasi atas perhitungan royalti yang dilakukan dan tarif yang dikenakan;
(4) Melakukan verifikasi apakah tarif yang dikenakan sesuai dengan tarif pasir laut sesuai kandungan mineral berdasarkan hasil pengujian laboratorium independen.

3)    Terjadi kolusi antara oknum aparat dengan eksportir pasir laut dengan cara melaporkan volume realisasi eksploitasi hasil laut non ikan berupa pasir laut yang dikeruk dan diekspor dalam Laporan Realisasi Pengerukan Pasir Laut (LRPPL) lebih rendah dari volume sebenarnya sehingga batas maksimal pasir laut yang dikeruk pada suatu lokasi tertentu tidak terkendali sebagaimana mestinya akibatnya terjadi kerusakan dan hilangnya sumber hayati laut.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian kontrak penjualan antara Kontraktor Pengelola dengan Buyer beserta seluruh amandemennya untuk mengetahui volume pasir yang akan diekspor;
(2) Melakukan penelitian realisasi volume pengapalan pasir laut beserta tagihannya (invoice) yang dikirimkan kontraktor kepada buyer di luar negeri;
(3) Melakukan penelitian spesifikasi, jenis, kecepatan dan kapasitas seluruh kapal yang dipergunakan kontraktor termasuk perjanjian sewa dan dokumen tagihan sewa dalam hal kapal yang dipergunakan tersebut disewa ;
(4) Melakukan verifikasi realisasi pembayaran sewa kapal untuk memastikan kebenaran volume tagihan dan pembayarannya.
(5) Melakukan verifikasi realisasi volume pengapalan per masing-masing kapal dan membandingkannya dengan kapasitas kapal ;
(6) Melakukan verifikasi kebenaran LRPPL dan membandingkannya dengan dokumen-dokumen ekspor seperti manifes kapal, bill of lading (B/L) dan PEB.

KAYU
Kasus penyimpangan yang terjadi serta solusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan, antara lain sebagai berikut:
1) Adanya kolusi antara petugas dengan pengusaha dalam rangka pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan cara melaporkan jumlah potensi tegangan tegak per blok lebih besar dari jumlah sebenarnya sehingga pemegang HPH memperoleh jatah tebang yang lebih besar dari yang seharusnya menurut Laporan Hasil Cruising (LHC). Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi lebih besar.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti hasil-hasil evaluasi LHC yang dilakukan instansi yang berwenang untuk mengetahui potensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan RKT (yang telah disahkan) dengan LHC yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan ;
(3) Membandingkan laporan produksi perusahaan pemegang HPH dengan LHC;
(4) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya over cutting, perambahan ke luar area yang ditetapkan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.

2)         Dalam pengajuan ijin baru maupun perpanjangan HPH, pengusaha yang bersangkutan harus melampirkan hasil pekerjaan pemotretan udara, pemetaan, inventarisasi hutan dan pemetaan batas areal kerja HPH. Pelaksanaan pemotretan dan pemetaan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemegang HPH sendiri atau pihak ketiga. Dalam kenyataannya pemberi ijin baru dan perpanjangan ijin HPH tetap diberikan oleh aparat terkait kepada pemegang HPH walaupun hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara aparat terkait dengan pengusaha HPH maupun pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan pemotretan dan pemetaan. Dengan ijin HPH tersebut pengusaha pemegang HPH dapat melaksanakan pengelolaan hutan tanpa memperhatikan potensi dan batas areal kerja HPH sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan hutan.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian terhadap ijin baru dan perpanjangan ijin HPH apakah telah didukung dengan data yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(2) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan areal kerja HPH yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang independen;
(3) Melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuan TPTI dan areal kerja HPH tidak menyeberang ke areal kerja HPH yang lain.
­­
3) Aparat terkait melakukan kolusi dengan pengusaha dalam pelaksanaan pekerjaan pemotretan dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberapa lokasi lahan kritis dengan menggunakan potret udara citra airbone radar. Hasil pekerjaan tersebut yang seharusnya tidak diterima oleh pihak pemberi kerja ternyata tetap diterima walaupun sebenarnya hasil pekerjaan tersebut tidak memenuhi syarat kontrak. Dengan hasil yang tidak sesuai dengan kontrak ini pemerintah tidak dapat memanfaatkan hasil pemotretan dan pemetaan secara maksimal untuk melakukan perencanaan, pengawasan dan penataan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberdpa lokasi lahan kritis.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian terhadap seluruh tahapan baik administrasi maupun teknis atas kegiatan pelaksanaan perikatan perjanjian pekerjaan pemotretan dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi dan beberapa lahan kritis ;
(2) Melakukan penelitian terhadap dokumen administrasi dan teknis atas pelaksanaan perikatan perjanjian di atas untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(3) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang independen.

4)         Pejabat memberikan ijin pertambangan kepada pengusaha untuk melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang mengandung sumber daya tambang, meskipun bertentangan dengan UU No. 41/1999 dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatan peneriman daerah, namun pada kenyataannya hal tersebut lebih menguntungkan pengusaha dan oknum pejabat terkait.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Membanding peta lokasi pertambangan dengan peta RUTR untuk memastikan bahwa lokasi pertambangan berada atau di luar kawasan hutan lindung ;
(2) Meneliti lokasi pertambangan untuk meyakinkan bahwa pertambangan tersebut tidak berada di lokasi hutan lindung berdasarkan peraturan pemerintah yang menetapkan lokasi kawasan tersebut sebagai hutan lindung.

5)    Adanya kolusi antara petugas dengan perusahaan pemegang HPH dengan membiarkan kegiatan penebangan hutan yang tidak memenuhi kriteria/batasan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1)    Melakukan penelitian terhadap pencatatan dan pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui apakah hasil penebangannya telah sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ;
(2) Melakukan analisa terhadap berbagai laporan yang berkaitan dengan kegiatan penebangan hutan untuk mengetahui kemungkinan adanya hasil penebangan yang tidak sesuai ketentuan ;
(3) Melakukan pengujian secara uji petik ke penampungan hasil penebangan dan bandingkan dengan pencatatan atau pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui adanya hasil penebangan yang tidak dilaporkan atau tidak sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ;
(4) Melakukan penelitian dengan cara sampling terhadap areal hutan bekas penebangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuannya (TPTI) ;
(5) Melakukan pengujian sampling melalui wawancara kepada penduduk setempat untuk mendapatkan informasi mengenai frekwensi pengiriman kayu hasil penebangan ke luar areal hutan.

6)         Perusahaan perkebunan besar swasta (PPBS) pemegang ijin pembukaan perkebunan yang telah mendapatkan pencadangan lahan ribuan hektar, namun tidak melakukan kegiatan sebagaimana mestinya sehingga banyak lahan yang terlantar, karena PPBS hanya mengambil kayunya saja. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara petugas dengan PPBS dalam pemberian ijin, sedangkan perusahaan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai PPBS.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan penelitian apakah persyaratan-persyaratan bagi PPBS untuk mendapatkan ijin pembukaan perkebunan telah cukup memadai untuk lahan/hutan yang telah dibuka agar dapat terpelihara kembali termasuk batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi yang dikenakan bagi PPBS yang melanggar;
(2) Melakukan penelitian apakah ijin pembukaan perkebunan untuk kawasan non budidaya kehutanan telah diberikan kepada PPBS hanya untuk lokasi lahan/hutan dibawah 100 hektar;
(3) Melakukan penelitian apakah segala kegiatan PPBS di lapangan telah dilakukan pengawasan yang ketat oleh instansi terkait.

7)         Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH) yang diberikan kepada masyarakat setempat, namun kenyataan di lapangan di laksanakan dan diperlakukan sebagai HPH oleh pengusaha HPH dan dibiarkan oleh aparat terkait. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan masyarakat setempat dari segi permodalan dan dari segi pemenuhan prosedur yang ditentukan sehingga masyarakat kehilangan sumber pendapatan tradisional disamping timbulnya potensi kerusakan hutan.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah penerbitan HPHH telah diberikan dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat, bukan oleh pemegang HPH (pengusaha besar) ;
(2) Melakukan observasi lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH dilakukan oleh masyarakat setempat ;
(3) Melakukan pemeriksaan fisik hasil hutan di lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH telah memperhatikan dampak lingkungan untuk menjaga kelestarian hutan ;
(4) Menganalisis laporan hasil pengawasan pengelolaan HPHH oleh instansi-instansi terkait.

8) Melakukan penebangan di luar blok tebangan (over cutting) dengan cara memperbesar volume maupun jenis potensi kayu pada Laporan Hasil Cruishing (LHC) dari suatu areal tertentu. Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi lebih besar.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah instansi terkait telah melakukan evaluasi atas pembuatan LHC dalam menetapkan potensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan antara citra landsat dengan LHC dan RKT ;
(3) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah setempat disusun berdasarkan LHC ;
(4) Membandingkan volume kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(5) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya penebangan kayu di luar areal blok penebangan yang sudah disahkan berdasarkan RKT;
(6) Melakukan penelitian apakah jatah tebang yang diberikan tidak melebihi potensi hutan untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di luar areal HPH.

9)         Penebangan dan perdagangan liar (illegal logging) oleh perusahaan pemegang HPH menimbulkan kerugian finansial negara dan dampak sosial serta kerusakan sumber daya hutan dan lahan sehingga akhirnya berdampak terhadap ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem dalam tatanan daerah aliran sungai.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah setempat disusun berdasarkan LHC sehingga jatah tebang yang diberikan sesuai dengan potensi hutan yang ada;
(2) Membandingkan hasil hutan menurut laporan hasil produksi (LHP) dengan RKT;
(3) Melakukan pengujian laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh aparat instansi terkait;
(4) Melakukan penelitian terhadap administrasi kegiatan penebangan, dan dibandingkan dengan RKT dan LHP-nya.

10) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diperhitungkan lebih kecil dari sebenarnya dengan memanipulasi jenis kayu yang ditebang dari hutan negara, dengan melaporkan jenis kayu yang tarifnya lebih kecil dibanding dengan jenis kayu yang sebenarnya ditebang. Namun petugas pemeriksa berwenang berkolusi dengan membiarkan hal tersebut terjadi. Akibatnya instansi berwenang tidak dapat memonitor keragaman jenis kayu yang ada pada areal hutan negara.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah dalam ijin HPH yang diberikan ditetapkan dengan tegas potensi hutan menurut jenis-jenis kayu yang ada dalam areal HPH ;
(2) Membandingkan jenis kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(3) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya pelaporan jenis kayu yang ditebang berbeda dengan kondisi yang sebenarnya.

11) Pengusaha pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) hanya menggunakan haknya untuk memanfaatkan kayu tanpa memenuhi kewajibannya membuka lahan perkebunan maupun hutan tanaman industri, sehingga menimbulkan degradasi fungsi hutan. Hal ini terjadi karena adanya persekongkolan dengan oknum pejabat terkait.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan :
(1) Meneliti apakah IPK telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya ;
(2) Melakukan pengujian apakah pengawasan terhadap pelaksanaan IPK telah berjalan dengan baik sehingga dapat mengurangi adanya penyalahgunaan peruntukan IPK;
(3) Meneliti laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait atas pelaksanaan IPK ;
(4) Membandingkan realisasi penebangan dengan realisasi penanaman HTI atau perkebunan ;
(5) Pemeriksaan fisik ke lapangan untuk meyakinkan kebenaran pelaksanaan IPK.

·       Pajak yang dibayarkan tetapi tidak masuk ke kas negara dengan kerugian Rp. 240 Triliun
     Mengelola pajak Negara adalah menegakkan hukum, yaitu hukum pajak, karena mengelola pajak Negara berarti menguji kepatuhan warga Negara (termasuk di dalamnya badan usaha) dalam melaksanakan ketentuan Hukum Pajak. Jika setiap warga Negara telah melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan, pertanda Hukum Pajak sudah tegak, namun jika belum, maka harus dilakukan upaya-upaya penegakan.
Upaya Penegakan tidak harus dimaknai sebagai langkah menyeret sebanyak-banyaknya wajib pajak ‘nakal’ ke ranah pidana pajak, namun yang lebih elok adalah menciptakan “Situasi Perpajakan Nasional” yang membuat warga Negara taat pajak.
Sebagai bagian dari lingkup Hukum Pidana yang berhubungan dengan uang negara, Hukum Pajak memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Hukum (Pidana) Korupsi. Keduanya adalah ‘anak’ dari Hukum Pidana dan ‘bertugas’ mengamankan dana Negara. Penegakan Hukum (Pidana) Korupsi berfokus pada pengamanan dana Negara “yang sudah” masuk ke Kas Negara, sedangkan Penegakan Hukum Pajak berfokus pada pengamanan dana Negara “yang belum” masuk ke kas Negara. Jika uang pajak yang tidak masuk ke Kas Negara menyebabkan kerugian Negara karena penggelapan pajak, maka nilai kerugian Negara akibat penggelapan pajak (jauh) lebih besar dibandingkan kerugian negara akibat korupsi. Perbandingannya bisa mencapai 2 sampai dengan 5 kali lipat, namun angka 5 kali lipat lebih menggambarkan kondisi sesungguhnya, karena didasarkan pada kapasitas pajak Negara Indonesia atas PDB.
Solusi
Mencermati potensi uang Negara yang hilang akibat penggelapan pajak jauh lebih besar dari kerugian Negara karena korupsi, patut dikemukakan perlunya dilakukan upaya penegakan hukum pajak yang lebih masif. Jika penegakan hukum korupsi dilakukan secara masif dengan mendirikan Lembaga Penegak Hukum Tambahan (ad hoc), yaitu KPK, menjadi gagasan yang segar jika berkenaan dengan Penegakan Hukum Pajak pun dilahirkan lembaga yang serupa dengan KPK, sebut saja “KPK-Pajak” (Komisi Pemberantas Kecurangan Pajak).
Cara lain itu adalah membangun system pencatatan transaksi ekonomi yang bisa diakses oleh otoritas pajak Indonesia (DJP), atau DJP diberikan kemudahan dan/atau wewenang mendapatkan dan/atau mengakses data-data transaksi ekonomi tersebut dari lembaga-lembaga yang ada, baik Lembaga Pemerintah maupun Non Pemerintah, sehingga otoritas pajak (DJP) memiliki data akurat untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Hal ini dengan asumsi reformasi dan modernisasi yang dilakukan di DJP berhasil. Jika pilihannya adalah ‘mempersenjatai’ DJP dengan kewenangan akses atau mendapatkan data yang berhubungan dengan potensi pajak, maka lembaga-lembaga seperti BI, PPATK, Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea dan Cukai, dan beberapa lembaga lain, bisa menjadi prioritas untuk bisa diakses datanya oleh DJP. Boleh jadi risiko penyalahgunaan mandat dan wewenang akses data oleh DJP ada, namun bisa diminimalisir dengan berbagai peraturaan pembatasan dan sanki berat bagi pelaku penyalahgunaan wewenang.
·         Subsidi kepada Perbankan yang Tidak Pernah Akan Sehat, Nilainya Minimal Rp. 40 Triliun
     Puluhan Ekonom dari Kampus UGM mengganggap kebijakan pemberian dana talangan perbankan melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1997-1998 dianggap kebijakan tepat dalam menanggulangi krisis ekonomi. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan adanya indikasi korupsi dan timbulnya moral hazard saat pemberian dana talangan sementara dan pemberian surat keterangan lunas BLBI yang perlu dituntaskan agar tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali mencuat setelah KPK tengah berupaya menyelidiki indikasi korupsi pada pemberian dana talangan BLBI dan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI tersebut.
Dikarenakan pemerintah pada saat krisis tersebut tidak memiliki dana tunai sebesar Rp 600-an tirliun untuk menyehatkan perbankan nasional, kebijakan BLBI diganti menjadi kebijakan obligasi rekap (OR) dimana pemerintah hanya membayar bunga sebesar 10 persen. Hal itu berdasarkan saran dari IMF. IMF memberi saran dengan istilah  rekayasa akuntansi, pemerintah tidak punya tunai Rp 600 Triliun, tapi punya kemampuan bayar bunga 10 persen. Sampai sekarang pemerintah bayar ke perbankan sebesar Rp 60 triliun setiap tahun yang diambil dari dana APBN. Pemerintah saat ini menanggung beban obligasi rekap sehingga harus menggelontorkan dana untuk diberikan ke bank meski kondisi keuangan bank tersebut sudah sangat baik. Untuk menghentikan pembagian dana dari bunga obligasi rekap BLBI, menurutnya butuh kebijakan dan ketegasan pemerintah yang didasarkan pada pertimbangan dari aspek hukum, ekonomi dan politik.
Solusi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut dugaan korupsi dalam manipulasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI, yang sejatinya adalah piutang negara, malah dibalik menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekapitalisasi perbankan yang diterbitkan pada 1998. Pasalnya, penyelewengan itu membuat keuangan negara rapuh. Negara harus menanggung bunga dan pokok obligasi yang jatuh tempo pada 2033.
Pemerintah sekarang seharusnya mengoreksi kebijakan salah pemerintah sebelumnya, dan menempatkan obligasi rekap sebagai utang swasta dari pengemplang BLBI, bukan utang pemerintah.  Sikap pemerintah saat ini yang tidak mengoreksi kebijakan yang jelas-jelas salah di masa lalu, yakni skandal BLBI, lebih buruk ketimbang pemerintah lama pembuat kebijakan salah tersebut.
Hasil audit Badan Pemerika Keuangan (BPK) atas keuangan negara tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan 2003 mengungkapkan terjadinya penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi. Untuk itu, pemerintah harus memburu dan mengharuskan obligor pengemplang BLBI mengembalikan kewajibannya kepada negara. Kenyataannya, aset obligor tidak ditarik, malah utang mereka dibayar pemerintah. Kalaupun ditarik, hanya aset-aset kecil dan tak berharga yang mereka tarik, sedangkan aset-aset berharga triliunan rupiah tidak ditarik.
Solusi lain yang ditawarkan ialah mengganti OR dengan apa yang dinamakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya. Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan modal ekuitinya.
      Kebocoran APBN sebesar 20% dari Rp. 370 Triliun yaitu senilai Rp. 74 Triliun
            Seperti kita saksikan, sejak 1999 hingga kini, ada pergeseran kekuasaan penentuan anggaran. Meski lembaga legislatif punya hak budgeting dalam penyusunannya bersama pemerintah (pasal 4 tata tertib DPR), kini penentuan alokasi anggaran tidak lagi didominasi pemerintah. DPR pegang palu yang jauh lebih menentukan. Perubahan peta kekuatan politik anggaran itu menjadikan anggota dan atau pimpinan panitia anggaran (panggar) DPR bagai raja. Implikasinya, siapa pun yang mendambakan kucuran APBN tanpa pandang objektif atau mengada-ada tidak hanya harus menghubungi dan atau berusaha berbaikan dengan orang-orang panggar, tapi juga harus "menghormati" apa yang diinginkan orang-orang panggar tersebut.
Sikap itu menggiring sebagian besar anggota dan atau pimpinan panggar aji mumpung. Di antara mereka, atas nama rakyat atau daerah konstituennya, memperjuangkan anggaran. Tapi, sejumlah catatan menunjukkan, perjuangan mereka kompensasional. Tak sedikit di antara mereka yang terang-terangan nitip sekian persen (10-20 persen) kepada pemda atau para pihak yang diperjuangkan.
Solusi
Penyusunan program untuk masuk lebih jauh ke sentra proses kebijakan penentuan keuangan negara, mencermati proses politik anggaran yang sarat dengan kolusi itu. Misalnya kebijakan KPK yang memandang penting untuk mengirim pengamatnya untuk melakukan observasi dengan menyaksikan langsung bagaimana orang-orang panggar menyusun dan membahas anggaran. Yang terpenting, para pengamat bisa menyaring mana daya juang yang murni untuk kepentingan publik dan daerah serta mana yang terindikasi ada "udang" di balik perjuangannya (kompensasional). Selain itu, bagaimana kuantitas nilai anggaran yang objektif dan mengada-ada. Bahkan, juga dapat menilai kelayakan dan program, baik dari sisi urgensinya maupun kemungkinan tumpang-tindahnya sehingga layak didrop. Berdasar hasil observasi itu, KPK dapat mencatat sejumlah potensi yang diperkirakan menjadi persoalan bagi keuangan negara. Yang lebih penting, para pengamat itu dapat memberikan catatan tertentu sehingga analisis hukumnya, bahkan mungkin tindakannya jauh lebih efisien, tidak seperti masuk dalam hutan belantara.
Solusi Penanggulangan Korupsi Secara Represif
     Pada dasarnya, penyelesaian atas kasus penyimpangan dilakukan secara proporsional sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan kewenangan masing-masing instansi. Setiap tahap penyelesaian kasus harus dilakukan pemantauan perkembangannya. Pada dasarnya setiap kasus tindak pidana korupsi harus ditindaklanjuti melalui peradilan sesuai ketentuan yang berlaku. Terhadap kasus yang hanya bersifat penyimpangan prosedur tata kerja dan perlu dilakukan pembinaan secara administratif dapat dilakukan penanganannya secara internal oleh organisasi yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Upaya ini merupakan pelaksanaan tindak lanjut atas kasus penyimpangan yang ditemukan pada masing-masing unit kerja dari hasil langkah-langkah detektif yang telah memenuhi hal sebagai berikut:
       Setiap kasus penyimpangan yang telah diidentifikasikan merugikan keuangan negara dari langkah detektif agar didukung dengan bukti yang memadai termasuk penjelasan/keterangan tertulis dari pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
       Setiap kasus penyimpangan harus dilakukan pembahasan melalui pemaparan kasus untuk menentukan langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan. Dalam pemaparan tersebut, jika perlu, menyertakan pihak dari instansi penyidik guna menentukan ada tidaknya Tindak Pidana Korupsi/Perdata.
A.  Penyelesaian oleh Internal Organisasi
1. Pelaksanaan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menindaklanjuti kasus penyimpangan yang ditemukan melalui :
a. pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP 30/1980 tentang Disiplin Karyawan Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang berlaku.
b. pengenaan sanksi TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) untuk instansi pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku yang selanjutnya dituangkan dalam Surat Kesanggupan dari pejabat/petugas yang bertanggung jawab.
2) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus-kasus penyimpangan yang sanksi TPTGR-nya tidak ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secara perdata;
3) Pimpinan instansi/unit kerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang diperlukan untuk menanggulangi akibat penyimpangan yang ditemukan.
2. Pemantauan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau pengenaan sanksi administratif dan pengenaan sanksi TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) dan atau ketentuan lainnya yang berlaku ;
2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan tindak lanjut penyelesaian kasus penyimpangan baik melalui pengenaan PP 30/1980 maupun TPTGR dan atau ketentuan lainnya yang berlaku kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus ke Instansi Penyidik.
1. Pelaksanaan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus penyimpangan yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK) kepada instansi penyidik dan kasus perdata kepada kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku ;
2) Instansi penyidik memproses kasus tindak pidana korupsi/perdata secara hukum dengan prinsip cepat, tepat dan efisien;
3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi penyidik yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pimpinan instansi/unit kerja mengenakan sanksi administrasi berdasarkan PP 30 tahun 1980 dan atau peraturan lain yang berlaku kepada karyawan yang telah dinyatakan bersalah;
4) Instansi penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan kasus tindak pidana korupsi/perdata kepada instansi pelapor secara berkala.
2. Pemantauan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau kasus tindak pidana korupsi/ perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik;
2) Pimpinan instansi/unit kerja yang melaporkan kasus tindak pidana korupsi/perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik disertai dengan perkembangan penanganannya kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

 
Tugas 3
3.  Semua orang dapat membangun mindset dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Jika anda seorang leader, bagaimana membangun mindset bawahan anda sehingga dapat mendukung organisasi dalam mencapai tujuannya?

Jawab:
3.  Ada karyawan yang motivasi kerjanya menurun, karyawan yang tidak mau berubah ke arah yang lebih baik atau susah diajak melakukan perubahan, mindset karyawannya sulit untuk diajak maju atau disiplin dan motivasi karyawannya kurang bagus lalu kita segera berasumsi bahwa mereka adalah karyawan atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang buruk. Para pakar perilaku menyebut asumsi itu sebagai “fundamental attribution error” atau asumsi yang segera “menyalahkan” aspek SDM/aspek manusia-nya ketika menyaksikan berbagai keburukan.
     Lalu, sebagai seorang leader apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah mindset bawahan saya?
Pada dasarnya mindset adalah pola pikir yang mempengaruhi pola kerja. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh pola pikirnya. Seseorang melakukan sesuatu karena didorong dan digerakkan oleh pola pikirnya. Jadi, kalau kita mau merubah perilaku seseorang maka pola pikirnya dulu yang harus dirubah. Pola pikir berubah, perilaku pasti berubah!
Bagaimana caranya? Misalnya, ajaklah dan libatkan dalam membahas suatu planning dalam bidangnya (departemennya) dan diskusikanlah bersama, libatkanlah dalam menganalisa baik-buruknya, untung ruginya, kuat dan lemahnya dari rencana kerja yang telah disusun bersama tersebut. Ajaklah juga menganalisa bagaimana mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Ini akan mempengaruhi secara tidak langsung pola pikirnya yang nantinya akan berpengaruh pada pola kerjanya. Kenapa? karena karyawan kita tahu rencana yang susun, dia merasa ikut "memiliki", dihargai idenya, logika berfikirnya dll. Pola pikir berubah, pola kerja berubah!
     Menjadi pemimpin yang baik bukanlah hal yang mudah. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu memimpin pengikutnya mencapai suatu tujuan tertentu. Ciri-ciri pemimpin yang efektif, antara lain:
1) Memiliki visi yang menarik
2) Menentukan    sasaran    yang    jelas (specific,   measurable,   attainable, realistic, time-oriented-smart)
3) Dapat mengembangkan karyawan yang terlatih dan berpengalaman
4) Selalu memberikan umpan balik
5) Melibatkan karyawan dalam memecahkan masalah
6) Mengembangkan iklim kerja yang mendorong kepercayaan, keterbukaan dan kebersamaan dalam bekerja.
     Kepemimpinan yang efektif juga dapat dicapai melalui pendelegasian kepada bawahan. Melalui    pendelegasian,   pemimpin   akan    menghemat    waktu, membangun    kebanggaan    dan    harga diri    pada    bawahannya    karena diikutsertakan  dalam  penentuan hasil  usahanya,  dapat  mengembangkan bakat,   inovasi,   dan   kreativitas,   serta   mendorong timbulnya motivasi berprestasi.

No comments:

Post a Comment