BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha dewasa ini sudah
semakin maju karena intensifitas
penggunaan teknologi yang semakin
inovatif mendukung kegiatan transaksional menjadi lebih efisien. Dalam bidang
perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet
memungkinkan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling), melainkan
dapat menggunakan teknologi ini. Media
internet sendiri mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis
terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Efisiensi merupakan salah
satu keuntungan dalam transaksi melalui media internet karena penghematan
waktu, baik karena tidak perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung,
tidak adanya kendala transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah. Tak ayal,
kebanyakan pebisnis cenderung memilih kegiatan transaksi bisnis di balik
layar (dunia maya).
Namun, transaksi
bisnis dunia maya (online) ini, bukan
tanpa celah. Banyak polemik mengenai kegiatan transaksional (jual-beli) cukup meresahkan
konsumen dan produsen serta menyebabkan kerugian. Apalagi ditambah lagi dengan
masih belum maksimalnya law enforcement
(penegakan hukum) kepada para pelaku tindak pidana kriminalisasi melalui dunia
maya (cyber crime). Saat ini, mekanisme jual beli (transaksi) bisnis online hanya dengan modal kepercayaan.
Belum ada langkah konkrit untuk membuat transaksi elektronik ini benar-benar
dipercaya serta memiliki legalitas dan kepastian/ketetapan hukum yang jelas dan
mengikat (imperative).
1.2
1.2 Permasalahan
Dari latar
belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam makalah ini
antara lain:
1) Apa yang
dimaksud dengan social commerce? Dan
bagaimana perkembangannya di Indonesia?
2) Bagaimana
regulasi atau aspek hukum dari kegiatan social
commerce di Indonesia?
3) Apa saja
contoh kasus yang terjadi berkaitan dengan kegiatan perdagangan secara online? Dan bagaimana aspek hukumnya?
1.3
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1) Untuk
dapat mengetahui maksud dari social
commerce dan mengetahui perkembangannya di Indonesia.
2) Untuk
dapat mengetahui regulasi atau aspek hukum dari kegiatan social commerce di Indonesia.
3) Untuk
dapat mengetahui contoh kasus yang terjadi berkaitan dengan kegiatan
perdagangan secara online dan mengetahui
aspek hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Social Commerce
Menurut
Wikipedia, Social Commerce adalah:
bagian dari electronic commerce (e-commerce) yang
melibatkan penggunaan social media, media
online yang mendukung interaksi sosial dan kontribusi user, dalam membantu proses pembelian barang/jasa secara online.
Contohnya seperti saat kita berbelanja
online. Kita di mintai testimoni atas
barang dan pengalaman di tempat tersebut. Atau kita me-like sebuah fanpage facebook sebuah toko online dan bertanya tentang reputasi
penjual tersebut kepada teman facebook. Lalu kita memberikan rekomendasi kepada
teman lain di facebook untuk
berbelanja atau tidak berbelanja di online
shop tersebut. Bisa juga ketika berbalanja di kaskus kemudian anda mencari
tahu reputasi penjualnya. Ya, disadari atau tidak berarti kita telah melakukan
aktifitas social commerce. Dimana kita telah melibatkan social media untuk
membantu berbelanja.
Ada
dua tipe social commerce. Pertama, connect
where customer shop (terkoneksilah di mana pembeli belanja). Artinya
terpenuhi kriteria: lokasi pasarnya sudah ada, sudah banyak toko di sana, sudah
banyak orang jualan di sana. Kedua, shop
where customer connect. Artinya, buatlah toko di mana orang-orang ramai
berkumpul dan terkoneksi.
2.2 Perkembangan
Social Commerce di Indonesia
Indonesia adalah negara yang sosial.
Dan para netizen di negara ini sangat gemar dengan media sosial. Pengguna aktif
Facebook di Indonesia mencapai sekitar
50 juta pengguna, Twitter mencapai sekitar
30 juta pengguna serta BBM dan Whatsapp sekitar 35 juta pengguna (Markplus
Insight Netizen Survey, 2013). Ini tentunya merupakan pasar yang amat besar,
dan peluang ini rupanya telah disadari oleh pelaku bisnis di Indonesia, entah
itu brand ataupun individu. Ya,
banyak penjual di Indonesia yang menggunakan jejaring media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan
lainnya untuk mempromosikan barang dagangan mereka. Sayangnya, menurut survei yang
sama kurang dari 5 juta pengguna media sosial ini yang berbelanja online.
Pada dasarnya ada tiga permasalahan
pokok kurangnya minat netizen Indonesia berbelanja melalui situs e-commerce konvensional. Pertama, akses.
Dibandingkan dengan negara lain, pengguna sosmed di Indonesia menghabiskan
waktu lebih banyak di sosmed harian (rata-rata sekitar 5,1 jam). Jadi, pemilik
akun media sosial malah menjadi tidak tertarik untuk masuk ke situs-situs utama
penjualan online tersebut karena di wall atau timeline media sosial mereka
sudah banyak yang memasang iklan online shop. Jadi mereka melihat dan
berbelanja hanya melalui sosmed favorit mereka. Kedua, hubungan dengan pelanggan
dan manajemen produk. Pemilik online
shop diharuskan untuk memiliki akun media social lebih dari satu untuk
mempromosikan produk/jasa yang mereka tawarkan. Situasi ini menyebabkan jika
ada produk baru, mereka harus mengupdate produk tersebut ke semua media sosial yang
mereka miliki dimana artinya akan merepotkan pemilik online shopnya karena
tidak bisa menggunakan satu jenis platform untuk menangani semuanya. Dan juga
bisa terjadi kemungkinan orderan yang tidak tertangani atau terlayani secara
maksimal. Sehingga timbul ketidakpuasan dan ketidaknyamanan pelanggan. Ketiga, penipuan
dan isu kepercayaan. Adanya rasa ketidakpercayaan netizen melakukan transaksi
pembelian online. Di tambah lagi dengan pemberitaan yang marak mengenai
penipuan yang terjadi di sistem penjualan secara online. Netizen tidak memiliki
rekomendasi mengenai track record
dari online shop yang mereka ingin beli produknya. Hal ini menyebabkan penjual
kehilangan pelanggan yang menguntungkan dan pembeli kehilangan kesepakatan
pembelian yang menguntungkan, di awal. Keuntungan yang seharusnya diterima oleh
kedua belah pihak jadi terlewatkan karena miss komunikasi.
Permasalahan inilah yang menyebabkan
banyak situs-situs daily deal
bermunculan. Situs-situs ini menjadi solusi dan berperan sebagai market place, dimana melayani marketplace
C2C (Customer to Customer) yang
ditargetkan untuk penjual yang beroperasi di media sosial seperti Facebook,
Twitter, Instagram, dll. Di Indonesia sendiri sudah ada pemain-pemain lokal
yang berperan sebagai marketplace
bagi para pelaku social commerce, seperti Kleora, Shopious, Onigi, Groupon,
dll.
2.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang Berkaitan dengan Social Commerce
Beberapa
pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) yang
berperan dalam social commerce antara
lain :
a) Pasal 2
Undang-Undang
ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
b) Pasal 9
Pelaku usaha
yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
c) Pasal 10
Setiap pelaku
usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh
Lembaga Sertifikasi Keandalan.
Ketentuan
mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
d) Pasal 18
Transaksi
Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
Para pihak
memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak
tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum
yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Para pihak
memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak
tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan
kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif
lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi
tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
e) Pasal 20
Kecuali
ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran
transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
Persetujuan atas penawaran
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan
pernyataan penerimaan secara elektronik.
f) Pasal 21
Pengirim atau
Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang
dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang
bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
jika dilakukan
sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
jika dilakukan melalui pemberian
kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab pemberi kuasa; atau
jika dilakukan
melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian
Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat
tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat
hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian
Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat
kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung
jawab pengguna jasa layanan.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan
terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.
g) Pasal 22
Penyelenggara
Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang
dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi
yang masih dalam proses transaksi.
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
h) Pasal 30
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan.
i) Pasal 46
Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet &
Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang
mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis social commerce, diantaranya adalah :
1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
4) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata
5) Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang
6) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
7) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
8) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
9) Undang-Undang
Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
10) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
11) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
12) Peraturan
Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan
dibidang Perbankan.
13) Serta
undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce.
2.4 Beberapa Penelitian Terkait Kegiatan
Perdagangan Elektronik
Berikut beberapa penelitian yang
membahas mengenai masalah hukum dalam hal perdagangan elektronik:
a) Bagus
Hanindyo Mantri (2007) “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce”
Berdasarkan pembahasan terhadap
hasil penelitian dapat disimpulkan :
1.
Bahwa Undang– undang perlindungan
konsumen No 8 Tahun 1999 belum dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce karena keterbatasan
pengertian pelaku usaha yang hanya khusus berada diwilayah negara Republik
Indonesia. Dan keterbatasan akan hak – hak konsumen yang diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
2.
Perlindungan hukum terhadap konsumen
yang seharusnya diatur meliputi perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha, dari
sisi konsumen, dari sisi produk, dari sisi transaksi.
3.
Permasalahan permasalahan yang timbul
dalam perlindungan hukum terhadap konsumen terdapat 2 (dua) permasalahan yaitu
pertama permasalahan yuridis, meliputi keabsahan perjanjian menurut KUHPerdata,
Penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce, UUPK yang tidak akomodatif,
tidak adanya lembaga penjamin toko online kedua permasalahan non yuridis
meliputi, kemanan bertransaksi dan tidak pahamnya konsumen dalam bertransaksi
e-commerce.
b) Marcella
Elwina S (2010) “Aspek Hukum Transaksi (Perdagangan) Melalui Media Elektronik
(E-Commerce) Di Era Global: Suatu Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen”
Hasil dari penelitian ini, antara
lain :
1. Perkembangan teknologi informasi sehubungan
dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya
aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui
media elektronik (transaksi e-commerce).
Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi
hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat
terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan
aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda
dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam
transaksi e-commerce? Demikian pula
dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures). Bila hal demikian tidak dapat diterima,
tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan
dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.
2. Secara khusus pranata atau pengaturan hukum
yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di
Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan
konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan
Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari
transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat
transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.
2.5 Contoh Kasus Berkaitan dengan E-Commerce
Berserta Aspek/Kajian Yuridis Normatif Efektifitas Penerapan UU. No 11 tahun
2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik (ITE)
Kemajuan teknologi informasi saat
ini yang semakin pesat perkembangannya, dimana orang dapat melakukan
transaksi-transaksi perdagangan dengan tanpa kehadiran para pihak, seperti
transaksi perdagangan dilakukan dengan online trading. Di satu sisi hal ini
memberi kemudahan bertransaksi bagi pelaku pasar namun di sisi lain membuka
peluang kejahatan dunia maya. Berikut contoh kasus kejahatan dunia maya yang
terjadi di Indonesia beserta kajian yuridisnya.
a) Kasus penipuan konsumen berkedok transaksi
melalui media jejaring sosial
Kasus ini dimuat dalam Harian
Sriwijaya Post, Minggu (5/3) 2011 tentang penipuan belanja online melalui media
jejaring sosial facebook. Ditinjau dari kasus yang dialami seorang mahasiswi
ini, tatkala melakukan transaksi elektronik via media jejaring social,
kronologisnya mahasiswi tersebut hendak berbelanja setelah mendapatkan tawaran
menggiurkan berupa produk-produk elektronik yang mekanismenya produk-produk
tersebut ditawarkan dengan memberikan gambaran informasi berupa foto-foto yang
kemudian dkirimkan ke akun korban dengan harga miring. Berbekal kepercayaan,
dirinya kemudian berinsiatif untuk mencoba membeli produk yang ditenggarai
distributor produk elektronik berupa laptop dan handphone tersebut berdomisili
di Pulau Batam.
Secara normatif, UU No. 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa dalam pasal 4 huruf (a)
menyatakan hak konsumen adalah kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam
mengkonsumsi barang/jasa. Kemudian dijelaskan lagi pasal 4 huruf (c), (d), (e),
(f), (g), (h), (i), yakni hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Disini tertera
jelas bahwa secara yuridis normatif, Negara telah menjamin hak-hak konsumen
dalam melakukan transaksi jual beli barang dan jasa.
Sesuai dengan data yang tertera
dalam pengakuan korban, kesimpulan yang
masih berupa hipotesa berupa, pelaku usaha telah melanggar butir-butir
ketentuan UU No. 8 tahun 1999 pasal 4 huruf (c) yakni hak untuk mendapatkan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan kondisi barang dan atau
jasa. Maka dari itu, untuk meminimalisir kejadian serupa terulang rasanya perlu
langkah preventif untuk mengantisipasi korban-korban kriminalisasi dunia maya
ini terjadi untuk yang kedua kalinya.
Dalam UU No. 11 tahun 2008
tentang informasi transaksi elektronik disebutkan di pembuka bahwa dalam
ketentuan umum pasal 1 (9) berbunyi: ”Sertifikat elektronik yang memuat tanda
tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak
dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara elektronik
[Pasal 1 (10), (11)]. Sesuai dengan ketentuan undang-undang ITE, dalam kasus
penipuan e-commerce tadi, konsumen termasuk ke dalam statusnya sebagai subjek
hukum dan distributor tersebut yang dapat diklasifikasikan sebagai pemegang
status subjek hukum. Karena, dalam pasal 1 (6) disebutkan bahwa penyelenggaraan
sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau
masyarakat. Dalam kasus tersebut, kami mengklasifikasikan distributor produk
elektronik tersebut sebagai subjek hukum karena dianalogikan bahwa
penyelenggara sistem elektronik secara luas [dalam kasus ini, facebook] namun
dideterminasikan sebagai individu pemegang sistem elektronik yang dikelola oleh
badan usaha, orang dan/atau masyarakat [Pasal 1 (6)] maka pemilik akun facebook
berupa distributor tersebut diklasifikasikan sebagai pemegang status subjek
hukum dengan kategori badan usaha bukan berbadan hukum.
Dalam kasus penipuan tersebut,
distributor telah melanggar ketentuan umum UU No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen pasal 9 (1) huruf (a) dan (d) mengenai pelaku usaha
dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang/jasa secara
tidak benar atau seolah-olah. Distributor tersebut secara gambling telah
melanggar transaksi perdagangan dengan memberikan janji fiktif kepada konsumen
dengan mengiklankan produk usahanya secara meluas kepada khalayak melalui media
jejaring sosial.
Dalam
kasus yang dihadapi mahasiswi tersebut, terindikasi bahwa telah terjadi
pelanggaran perjanjian transaksi jual beli/e-commerce, antara distrtibutor
dengan konsumen berupa serta langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi
kejadian serupa dengan mempertimbangkan ketentuan yakni :
1. UU No.
8 tahun 1999 Pasal 4 (c) berupa konsumen berhak mendapatkan informasi secara
jujur. Melalui penafsiran hukum berupa penganalogian konstituen UU berupa
“mendapatkan informasi secara jujur” yakni mendapatkan informasi secara jelas,
terang-terangan, terbuka, legal (memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat
mengikat/imperatif), mulai dari penjajakan barang dagangan, proses pembayaran,
hingga sampainya barang yang dituju sesuai dengan informasi yang tertera. Maka
dari itu, perlu langkah konkrit berupa kajian empirik untuk menanggulangi kasus
serupa dengan memberikan
advise/saran/nasehat berupa
‘setiap orang yang melakukan kegiatan usaha (transaksional barang/jasa) baik
itu secara nyata maupun maya, baik itu badan usaha berbadan hukum maupun badan
usaha bukan berbadan hukum perlu mendaftarkan dan diawasi sebuah lembaga khusus
yang berwenang membuat sertifikasi/akta yang sah dan memiliki kekuatan hukum
yang bersifat tetap dan mengikat’. Hal ini direpresentasikan sebagai realisasi
dari perlunya perlindungan hak-hak konsumen transaksi dunia maya yang
seringkali dirugikan lantaran belum adanya undang-undang yang mengatur untuk
hal itu”.
2. Mengesahkan
RUU Badan pengawas telematika sebagai lembaga yang diotorisasikan menaungi
semua pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat nisbi/maya. Dalam kasus
mahasiswi tersebut, relevansinya adalah dalam kegiatan transaksi melalui dunia
maya hal tersebut adalah untuk menanggulangi tindakan kriminal dalam dunia
maya, dan
3. Mewajibkan
setiap badan usaha/melakukan kegiatan usaha yang bersifat nyata/maya yang
menyelenggarakan sistem transaksi elektronik mesti mendaftarkan diri tentang
riwayat dan dokumen perusahaan (baik itu badan hukum atauapun bukan berbadan
hukum) sesuai dengan ketentuan UU No. 8 tahun 1997 serta setiap penyelenggara
sistem elektronik baik itu Negara, orang, masyarakat mesti disertifikasi oleh
lembaga keandalan sesuai dengan ketentuan UU No. 11 tahun 2008 untuk
mengantisipasi kekosongan hukum (rechtsvacuum) terhadap tindak kejahatan
melalui dunia maya berupa penipuan transaksi online melalui situs jejaring
social.
4. Apabila,
setiap usaha/kegiatan usaha baik itu yang sifatnya nyata/maya telah mendapatkan
legalitas yang sah menurut hukum positif Indonesia, maka dari itu konsumen akan
akan dengan segera mendapatkan hak-haknya sebagai subjek hukum untuk menggugat
pelaku usaha tersebut ke meja peradilan. Hal ini, bertujuan untuk melindungi
konsumen agar tidak terjerat dengan pelaku-pelaku usaha nakal yang mencuri
hak-hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi.
5. Pasal
45 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2)
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari makalah ini, antara lain:
1.
Social
commerce
merupakan bagian dari electronic commerce
(e-commerce) yang melibatkan penggunaan social media, media online yang
mendukung interaksi sosial dan kontribusi user, dalam membantu proses pembelian
barang/jasa secara online.
2.
Indonesia sebagai negara yang memiliki
masyarakat pengguna sosmed yang aktif merupakan potensi pasar yang besar bagi
pelaku bisnis online shop. Namun, strategi pasar yang digunakan seharusnya disesuaikan
dengan situasinya. Dari yang tadinya menyasar pengguna internet dengan membuat
situs e-commerce konvensional (asumsi kalau pengguna membutuhkan barang/jasa
akan langsung masuk ke situs e-commerce), menjadi menyasar pengguna sosmed
(memanfaatkan sosmed sebagai rekomendasi keunggulan produk sehingga menarik
pelanggan lain). Karena sebagian besar pengguna internet merupakan pengguna
sosmed aktif. Caranya dengan memanfaatkan situs-situs deal daily terpercaya.
Beberapa pasal dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik (UU-ITE) yang berperan dalam social commerce antara lain :
Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 30
dan Pasal 46.