Wednesday, 6 January 2016

Social Commerce



BAB I
PENDAHULUAN

      1.1 Latar Belakang

      Perkembangan dunia usaha dewasa ini sudah semakin maju  karena intensifitas penggunaan  teknologi yang semakin inovatif mendukung kegiatan transaksional menjadi lebih efisien. Dalam bidang perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet memungkinkan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling), melainkan dapat menggunakan teknologi ini.  Media internet sendiri mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Efisiensi merupakan salah satu keuntungan dalam transaksi melalui media internet karena penghematan waktu, baik karena tidak perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung, tidak adanya kendala transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah.  Tak ayal,  kebanyakan pebisnis cenderung memilih kegiatan transaksi bisnis di balik layar (dunia maya).

Namun, transaksi bisnis dunia maya (online) ini, bukan tanpa celah. Banyak polemik mengenai kegiatan transaksional (jual-beli) cukup meresahkan konsumen dan produsen serta menyebabkan kerugian. Apalagi ditambah lagi dengan masih belum maksimalnya law enforcement (penegakan hukum) kepada para pelaku tindak pidana kriminalisasi melalui dunia maya (cyber crime). Saat ini, mekanisme jual beli (transaksi) bisnis online hanya dengan modal kepercayaan. Belum ada langkah konkrit untuk membuat transaksi elektronik ini benar-benar dipercaya serta memiliki legalitas dan kepastian/ketetapan hukum yang jelas dan mengikat (imperative).

1.2            1.2 Permasalahan

Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam makalah ini antara lain:

1)     Apa yang dimaksud dengan social commerce? Dan bagaimana perkembangannya di Indonesia?

2)     Bagaimana regulasi atau aspek hukum dari kegiatan social commerce di Indonesia?

3)     Apa saja contoh kasus yang terjadi berkaitan dengan kegiatan perdagangan secara online? Dan bagaimana aspek hukumnya?

1.3            1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1)     Untuk dapat mengetahui maksud dari social commerce dan mengetahui perkembangannya di Indonesia.
2)     Untuk dapat mengetahui regulasi atau aspek hukum dari kegiatan social commerce di Indonesia.
3)     Untuk dapat mengetahui contoh kasus yang terjadi berkaitan dengan kegiatan perdagangan secara online dan mengetahui aspek hukumnya.


 BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Social Commerce
            Menurut Wikipedia, Social Commerce adalah:
bagian dari electronic commerce (e-commerce) yang melibatkan penggunaan social media, media online yang mendukung interaksi sosial dan kontribusi user, dalam membantu proses pembelian barang/jasa secara online.
Contohnya seperti saat kita berbelanja online. Kita di mintai testimoni atas barang dan pengalaman di tempat tersebut. Atau kita me-like sebuah fanpage facebook sebuah toko online dan bertanya tentang reputasi penjual tersebut kepada teman facebook. Lalu kita memberikan rekomendasi kepada teman lain di facebook untuk berbelanja atau tidak berbelanja di online shop tersebut. Bisa juga ketika berbalanja di kaskus kemudian anda mencari tahu reputasi penjualnya. Ya, disadari atau tidak berarti kita telah melakukan aktifitas social commerce. Dimana kita telah melibatkan social media untuk membantu berbelanja.
Ada dua tipe social commerce. Pertama, connect where customer shop (terkoneksilah di mana pembeli belanja). Artinya terpenuhi kriteria: lokasi pasarnya sudah ada, sudah banyak toko di sana, sudah banyak orang jualan di sana. Kedua, shop where customer connect. Artinya, buatlah toko di mana orang-orang ramai berkumpul dan terkoneksi.
2.2       Perkembangan Social Commerce di Indonesia
            Indonesia adalah negara yang sosial. Dan para netizen di negara ini sangat gemar dengan media sosial. Pengguna aktif Facebook di Indonesia mencapai sekitar 50 juta pengguna, Twitter mencapai sekitar 30 juta pengguna serta BBM dan Whatsapp sekitar 35 juta pengguna (Markplus Insight Netizen Survey, 2013). Ini tentunya merupakan pasar yang amat besar, dan peluang ini rupanya telah disadari oleh pelaku bisnis di Indonesia, entah itu brand ataupun individu. Ya, banyak penjual di Indonesia yang menggunakan jejaring media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan barang dagangan mereka. Sayangnya, menurut survei yang sama kurang dari 5 juta pengguna media sosial ini yang berbelanja online.
            Pada dasarnya ada tiga permasalahan pokok kurangnya minat netizen Indonesia berbelanja melalui situs e-commerce konvensional. Pertama, akses. Dibandingkan dengan negara lain, pengguna sosmed di Indonesia menghabiskan waktu lebih banyak di sosmed harian (rata-rata sekitar 5,1 jam). Jadi, pemilik akun media sosial malah menjadi tidak tertarik untuk masuk ke situs-situs utama penjualan online tersebut karena di wall atau timeline media sosial mereka sudah banyak yang memasang iklan online shop. Jadi mereka melihat dan berbelanja hanya melalui sosmed favorit mereka. Kedua, hubungan dengan pelanggan dan manajemen produk. Pemilik online shop diharuskan untuk memiliki akun media social lebih dari satu untuk mempromosikan produk/jasa yang mereka tawarkan. Situasi ini menyebabkan jika ada produk baru, mereka harus mengupdate produk tersebut ke semua media sosial yang mereka miliki dimana artinya akan merepotkan pemilik online shopnya karena tidak bisa menggunakan satu jenis platform untuk menangani semuanya. Dan juga bisa terjadi kemungkinan orderan yang tidak tertangani atau terlayani secara maksimal. Sehingga timbul ketidakpuasan dan ketidaknyamanan pelanggan. Ketiga, penipuan dan isu kepercayaan. Adanya rasa ketidakpercayaan netizen melakukan transaksi pembelian online. Di tambah lagi dengan pemberitaan yang marak mengenai penipuan yang terjadi di sistem penjualan secara online. Netizen tidak memiliki rekomendasi mengenai track record dari online shop yang mereka ingin beli produknya. Hal ini menyebabkan penjual kehilangan pelanggan yang menguntungkan dan pembeli kehilangan kesepakatan pembelian yang menguntungkan, di awal. Keuntungan yang seharusnya diterima oleh kedua belah pihak jadi terlewatkan karena miss komunikasi.
            Permasalahan inilah yang menyebabkan banyak situs-situs daily deal bermunculan. Situs-situs ini menjadi solusi dan berperan sebagai market place, dimana melayani  marketplace C2C (Customer to Customer) yang ditargetkan untuk penjual yang beroperasi di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dll. Di Indonesia sendiri sudah ada pemain-pemain lokal yang berperan sebagai marketplace bagi para pelaku social commerce, seperti Kleora, Shopious, Onigi, Groupon, dll.
2.3       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang Berkaitan dengan  Social Commerce
            Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) yang berperan dalam social commerce antara lain :
a)     Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
b)     Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
c)     Pasal 10
Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
d)     Pasal 18
Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
e)     Pasal 20
Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
f)      Pasal 21
Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
g)     Pasal 22
Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
h)     Pasal 30
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
i)      Pasal 46
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis  social commerce, diantaranya adalah :
1)     Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2)     Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3)     Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4)     Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
5)     Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
6)     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
7)     Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
8)     Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
9)     Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
10) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
11) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
12) Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan.
13) Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce.

2.4       Beberapa Penelitian Terkait Kegiatan Perdagangan Elektronik
            Berikut beberapa penelitian yang membahas mengenai masalah hukum dalam hal perdagangan elektronik:
a)     Bagus Hanindyo Mantri (2007) “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian dapat disimpulkan :
1.     Bahwa Undang– undang perlindungan konsumen No 8 Tahun 1999 belum dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce karena keterbatasan pengertian pelaku usaha yang hanya khusus berada diwilayah negara Republik Indonesia. Dan keterbatasan akan hak – hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
2.     Perlindungan hukum terhadap konsumen yang seharusnya diatur meliputi perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha, dari sisi konsumen, dari sisi produk, dari sisi transaksi.
3.     Permasalahan permasalahan yang timbul dalam perlindungan hukum terhadap konsumen terdapat 2 (dua) permasalahan yaitu pertama permasalahan yuridis, meliputi keabsahan perjanjian menurut KUHPerdata, Penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce, UUPK yang tidak akomodatif, tidak adanya lembaga penjamin toko online kedua permasalahan non yuridis meliputi, kemanan bertransaksi dan tidak pahamnya konsumen dalam bertransaksi e-commerce.
b)     Marcella Elwina S (2010) “Aspek Hukum Transaksi (Perdagangan) Melalui Media Elektronik (E-Commerce) Di Era Global: Suatu Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen”
Hasil dari penelitian ini, antara lain :
1.    Perkembangan teknologi informasi sehubungan dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui media elektronik (transaksi e-commerce).  Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam transaksi e-commerce?  Demikian pula dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures).  Bila hal demikian tidak dapat diterima, tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.
2.    Secara khusus pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.
2.5       Contoh Kasus Berkaitan dengan E-Commerce Berserta Aspek/Kajian Yuridis Normatif Efektifitas Penerapan UU. No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik (ITE)
            Kemajuan teknologi informasi saat ini yang semakin pesat perkembangannya, dimana orang dapat melakukan transaksi-transaksi perdagangan dengan tanpa kehadiran para pihak, seperti transaksi perdagangan dilakukan dengan online trading. Di satu sisi hal ini memberi kemudahan bertransaksi bagi pelaku pasar namun di sisi lain membuka peluang kejahatan dunia maya. Berikut contoh kasus kejahatan dunia maya yang terjadi di Indonesia beserta kajian yuridisnya.
a)      Kasus penipuan konsumen berkedok transaksi melalui media jejaring sosial
Kasus ini dimuat dalam Harian Sriwijaya Post, Minggu (5/3) 2011 tentang penipuan belanja online melalui media jejaring sosial facebook. Ditinjau dari kasus yang dialami seorang mahasiswi ini, tatkala melakukan transaksi elektronik via media jejaring social, kronologisnya mahasiswi tersebut hendak berbelanja setelah mendapatkan tawaran menggiurkan berupa produk-produk elektronik yang mekanismenya produk-produk tersebut ditawarkan dengan memberikan gambaran informasi berupa foto-foto yang kemudian dkirimkan ke akun korban dengan harga miring. Berbekal kepercayaan, dirinya kemudian berinsiatif untuk mencoba membeli produk yang ditenggarai distributor produk elektronik berupa laptop dan handphone tersebut berdomisili di Pulau Batam.
Secara normatif, UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa dalam pasal 4 huruf (a) menyatakan hak konsumen adalah kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa. Kemudian dijelaskan lagi pasal 4 huruf (c), (d), (e), (f), (g), (h), (i), yakni  hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Disini tertera jelas bahwa secara yuridis normatif, Negara telah menjamin hak-hak konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang dan jasa.
Sesuai dengan data yang tertera dalam  pengakuan korban, kesimpulan yang masih berupa hipotesa berupa, pelaku usaha telah melanggar butir-butir ketentuan UU No. 8 tahun 1999 pasal 4 huruf (c) yakni hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan kondisi barang dan atau jasa. Maka dari itu, untuk meminimalisir kejadian serupa terulang rasanya perlu langkah preventif untuk mengantisipasi korban-korban kriminalisasi dunia maya ini terjadi untuk yang kedua kalinya.
Dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik disebutkan di pembuka bahwa dalam ketentuan umum pasal 1 (9) berbunyi: ”Sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara elektronik [Pasal 1 (10), (11)]. Sesuai dengan ketentuan undang-undang ITE, dalam kasus penipuan e-commerce tadi, konsumen termasuk ke dalam statusnya sebagai subjek hukum dan distributor tersebut yang dapat diklasifikasikan sebagai pemegang status subjek hukum. Karena, dalam pasal 1 (6) disebutkan bahwa penyelenggaraan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat. Dalam kasus tersebut, kami mengklasifikasikan distributor produk elektronik tersebut sebagai subjek hukum karena dianalogikan bahwa penyelenggara sistem elektronik secara luas [dalam kasus ini, facebook] namun dideterminasikan sebagai individu pemegang sistem elektronik yang dikelola oleh badan usaha, orang dan/atau masyarakat [Pasal 1 (6)] maka pemilik akun facebook berupa distributor tersebut diklasifikasikan sebagai pemegang status subjek hukum dengan kategori badan usaha bukan berbadan hukum.
Dalam kasus penipuan tersebut, distributor telah melanggar ketentuan umum UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 9 (1) huruf (a) dan (d) mengenai pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang/jasa secara tidak benar atau seolah-olah. Distributor tersebut secara gambling telah melanggar transaksi perdagangan dengan memberikan janji fiktif kepada konsumen dengan mengiklankan produk usahanya secara meluas kepada khalayak melalui media jejaring sosial.
Dalam kasus yang dihadapi mahasiswi tersebut, terindikasi bahwa telah terjadi pelanggaran perjanjian transaksi jual beli/e-commerce, antara distrtibutor dengan konsumen berupa serta langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi kejadian serupa dengan mempertimbangkan ketentuan yakni :
1.      UU No. 8 tahun 1999 Pasal 4 (c) berupa konsumen berhak mendapatkan informasi secara jujur. Melalui penafsiran hukum berupa penganalogian konstituen UU berupa “mendapatkan informasi secara jujur” yakni mendapatkan informasi secara jelas, terang-terangan, terbuka, legal (memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat mengikat/imperatif), mulai dari penjajakan barang dagangan, proses pembayaran, hingga sampainya barang yang dituju sesuai dengan informasi yang tertera. Maka dari itu, perlu langkah konkrit berupa kajian empirik untuk menanggulangi kasus serupa dengan memberikan  advise/saran/nasehat  berupa ‘setiap orang yang melakukan kegiatan usaha (transaksional barang/jasa) baik itu secara nyata maupun maya, baik itu badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha bukan berbadan hukum perlu mendaftarkan dan diawasi sebuah lembaga khusus yang berwenang membuat sertifikasi/akta yang sah dan memiliki kekuatan hukum yang bersifat tetap dan mengikat’. Hal ini direpresentasikan sebagai realisasi dari perlunya perlindungan hak-hak konsumen transaksi dunia maya yang seringkali dirugikan lantaran belum adanya undang-undang yang mengatur untuk hal itu”.
2.      Mengesahkan RUU Badan pengawas telematika sebagai lembaga yang diotorisasikan menaungi semua pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat nisbi/maya. Dalam kasus mahasiswi tersebut, relevansinya adalah dalam kegiatan transaksi melalui dunia maya hal tersebut adalah untuk menanggulangi tindakan kriminal dalam dunia maya, dan
3.      Mewajibkan setiap badan usaha/melakukan kegiatan usaha yang bersifat nyata/maya yang menyelenggarakan sistem transaksi elektronik mesti mendaftarkan diri tentang riwayat dan dokumen perusahaan (baik itu badan hukum atauapun bukan berbadan hukum) sesuai dengan ketentuan UU No. 8 tahun 1997 serta setiap penyelenggara sistem elektronik baik itu Negara, orang, masyarakat mesti disertifikasi oleh lembaga keandalan sesuai dengan ketentuan UU No. 11 tahun 2008 untuk mengantisipasi kekosongan hukum (rechtsvacuum) terhadap tindak kejahatan melalui dunia maya berupa penipuan transaksi online melalui situs jejaring social.
4.      Apabila, setiap usaha/kegiatan usaha baik itu yang sifatnya nyata/maya telah mendapatkan legalitas yang sah menurut hukum positif Indonesia, maka dari itu konsumen akan akan dengan segera mendapatkan hak-haknya sebagai subjek hukum untuk menggugat pelaku usaha tersebut ke meja peradilan. Hal ini, bertujuan untuk melindungi konsumen agar tidak terjerat dengan pelaku-pelaku usaha nakal yang mencuri hak-hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi. 
5.      Pasal 45 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
BAB III
KESIMPULAN

            Kesimpulan dari makalah ini, antara lain:
1.     Social commerce merupakan bagian dari electronic commerce (e-commerce) yang melibatkan penggunaan social media, media online yang mendukung interaksi sosial dan kontribusi user, dalam membantu proses pembelian barang/jasa secara online.
2.     Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat pengguna sosmed yang aktif merupakan potensi pasar yang besar bagi pelaku bisnis online shop. Namun, strategi pasar yang digunakan seharusnya disesuaikan dengan situasinya. Dari yang tadinya menyasar pengguna internet dengan membuat situs e-commerce konvensional (asumsi kalau pengguna membutuhkan barang/jasa akan langsung masuk ke situs e-commerce), menjadi menyasar pengguna sosmed (memanfaatkan sosmed sebagai rekomendasi keunggulan produk sehingga menarik pelanggan lain). Karena sebagian besar pengguna internet merupakan pengguna sosmed aktif. Caranya dengan memanfaatkan situs-situs deal daily terpercaya.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) yang berperan dalam social commerce antara lain : Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 30 dan Pasal 46.

No comments:

Post a Comment